Pages

24 Feb 2008

Ruang Film tentang AAC

Jenis Ulasan:
Film
Isi Ulasan:

Tayang : 28 Februari 2008
Genre : Drama Religius Roman/Percintaan
Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis Naskah : Salman Aristo & Ginatri S. Noer dari Novel Karya Habiburrahman El Shirazy
Produser : Manooj Punjabi
Rumah Produksi : MD Pictures
Durasi : 95 Menit
Klasifikasi Penonton : 13 Tahun Keatas (13+)
Portal : http://ayatayatcintathemovie.com/
Pemain :
Fedi Nuril sebagai Fachri
Rianti Cartwright sebagai Aisha
Zaskia Adya Mecca sebagai Noura
Melanie Putria sebagai Nurul
Carrisa Putri sebagai Maria
Oka Antara, Surya Saputra, Dennis Adiswara

Akhir dari sebuah penantian

Setelah menunggu tanpa waktu (ingat judul lagu siapa hayoo...), akhirnya kepastian rilis film yang dinanti oleh banyak kalangan ini muncul. Sebuah pencapaian yang diraih dengan kerja keras dan proses yang berliku dari Hanung, Manooj, Salman & Ginatri, serta para pemain dan kru dari MD Pictures. Sekaligus akhir penantian bagi sekian banyak pembaca novel yang kabarnya masuk kategori terlaris di seantero negeri ini maupun para penikmat film lainnya. Gaung yang memiliki sisi positif bagi promo film, namun bisa saja berdampak buruk jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan banyak pihak.

Hingga suatu hari, undangan gala premiere film tersebut tiba-tiba saja terpampang dengan manis di meja saya, 18 Februari 2008, adalah tanggal yang tertera didalamnya. Dengan kemasan yang cukup eksklusif mengalahkan undangan pernikahan adik saya yang baru lalu, seolah mengisyaratkan keseriusan sang pengundang dan memberi kilasan ke glamouran dari film yang menurut produsernya membuat seluruh hidupnya selaksa dipertaruhkan. Wow....

Film pembangun jiwa

Dan... Film dibuka dengan adegan Fahri yang tengah kebingungan, karena file-file komputernya hilang, sehingga harus meminta bantuan tetangganya, Maria, dengan menampilkan dialog bahasa arab (yang kemudian juga mengisi sebagian film) beserta teks terjemahan.

Duarr.... Sebuah awalan yang sangat tidak terduga dan mengejutkan, pilihan yang cukup cerdas, namun khas. Dengan bahasa gambar Hanung merangkai sebuah kekikukan saat seorang perempuan bukan muhrim memasuki flat bertuliskan Baiti Jannati tempat Fahri dan kawan-kawan tinggal, mulai dari membetulkan posisi duduk hingga saat Syaiful telat memberitahu kawannya (Dennis Adhiswara) untuk tidak keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk dan celana pendek. Kejadian yang merupakan simbolisasi yang baik dari akhlak Fahri dan kawan-kawan saat Maria yang cantik dengan ringan tangan membantu Fahri mengetik ulang proposal tesisnya.

Lalu, ceritapun bergulir, ke saat Fahri hendak pergi talaqqi ke tempat ustadz Usman, dengan runtun tergambar bagaimana Maria kemudian meminta tolong untuk membelikan disket dan menghadiahkan ashir mangga kepada Fahri, langkahnya sempat terhenti sebentar oleh adegan Noura yang sedang disiksa oleh Bahadur didepan orang banyak tanpa ada yang berani menghalangi hingga akhirnya ia sampai di tempat ustadz Usman. Perjalanan pulang dari talaqqi membawa Fahri dalam perkenalan secara tidak sengaja dengan Aisha, yaitu saat ia hendak menghalangi seorang Mesir yang membentak Aisha karena memberi tempat pada orang Amerika, meski untuk itu ia mendapat pukulan.

Sampai titik ini dapat terjelaskan bagaimana Salman dan Ginatri, pasangan yang menulis skenario film ini mencoba untuk membuat sebuah plot cerita yang padat, merangkum sekian ratus lembar halaman novel kedalam skenario yang memiliki berbagai keterbatasan tanpa mengurangi inti cerita maupun sisi menarik lainnya.

Sentuhan seorang Hanung (Sutradara peraih Citra 2004 dan 2007) tetap terlihat lewat bahasa gambar yang sangat dikuasainya serta menampilkan berbagai detail yang “tertulis” menjadi terucap atau hanya tervisualisasikan sesaat. Namun sangat disayangkan ketika kita harus membayangkan Mesir sebagai latar film, maka simbolisasinya tidak dapat terlihat dengan jelas, kemegahan Mesir sebagai salah satu pusat kebudayaan tertua tidak terbangun. Setting Al Azhar juga gagal, mungkin karena figuran yang menjadi siswa-siswinya kelihatan terlalu Indonesia. Sementara sungai Nilnya sendiri tidak terlihat anggun dengan angle kamera yang hanya melulu mengambil jembatan dan air dibawahnya. Entah apa yang terjadi sehingga menyebabkan film ini menjadi “miskin” dalam pengadeganan di luar ruangan.

Hal berbeda ditunjukkan dalam pemilihan karakter, semua karakter utama Fahri, Maria, Aisha, Nurul dan Noura yang dominan memang tampak tepat dimainkan oleh aktor dan aktrisnya. Nilai plus diperlihatkan oleh Carrisa Putri, sosok Maria, seorang gadis yang memendam cinta nampak hidup dalam dirinya. Namun untuk karakter pembantu terasa kurang mewakili, semuanya jadi terasa terlalu Indonesia dan tidak riil, beda sekali dengan pemilihan Carissa untuk Maria dan Rianti untuk Aisha dengan wajah non-pribuminya.

Sosok Fedi Nuril yang tidak kekar, ganteng dan bertampang alim memang terlihat cocok menjadi Fahri. Terlebih dengan peniadaan karakter yang ringkih dan sakit-sakitan berganti dengan sikap yang sedikit gentle, tetap butuh curhat dengan teman dan bisa meledak seperti ditunjukkan saat ia marah-marah dipenjara, membuat ia terlihat sedikit manusiawi seperti yang diinginkan sang sutradara. Dan Fedi Nuril mampu memainkannya dengan meyakinkan.

Catatan juga layak dialamatkan pada beberapa adegan yang akan lebih baik jika dibawakan dengan dialog arab dengan teks terjemahan, seperti saat polisi menangkap Fahri atau saat ritual persidangan dimulai. Pemilihan adegan kecemburuan Aisha dalam film yang sedikit berlama-lama juga layak untuk dikritik, mengingat konflik yang langsung selesai dengan kata-kata Fahri kepada Aisha dan Maria yang mendadak berubah sikap.

Namun, film memang berbeda dengan novel, dengan keterbatasan durasi dan perbedaan mendasar dari bentuk tulisan ke bentuk audio visual, maka film ini cukup baik dan kreatif dalam menterjemahkan bebas isi novel Habiburrahman El Shirazy. Pemilihan angle bercerita dan eksplorasi yang dilakukan dalam beberapa dialog dan adegan mampu memberi sensasi tersendiri.

Adegan pemukulan terhadap Fahri diatas KRL tidak ada dalam novel, tapi pemunculannya justru mampu menghidupkan film dan memberi gambaran yang lengkap. Demikian pula dialog seorang tahanan dengan Fahri yang mengutip kisah nabi Yusuf ataupun simbolisasi lukisan dan salib yang menjelaskan latar belakang Maria yang dengan cerdas mampu menggantikan catatan dalam novel tanpa mengurangi makna.

Demikianlah, semoga saja semua catatan ini tidak mengurangi nilai dakwah yang memang menjadi tema dari film dan keasyikan anda saat menonton pada 28 Februari nanti. (Musashi)

diambil dari ruang film.




No comments: