Pages

16 Oct 2008

Anak-anak Hujan





Pemuda itu, tegap. Dengan rambut ikal yang enggan ia sisir. Duduk menekuri tuts-tust di hadapannya. Mata berkantungnya terkesiap tatkala diksi-diksi indah ia temukan. Tatkala ia berhasil terbang dalam keindahan prosa-prosa natural perasaan.
Ia sangat menyukai hujan, sama seperti kedua saudaranya. Sebuah pemberian yang akhirnya membuatnya bisa menebak apa yang akan terjadi nanti. Pemberian sang Maha Esa. Sebuah takdir tertanam bersama cincin yang terikat pada jari manisnya. Dengan cincin itu ia bisa pergi kemana saja, kemana ia menginginkan dengan sekejap. Ia hadir bersama rintik dan terbangnya dedaunan. Tertunduk, selalu tertunduk. Bersama senyuman, seorang Lelaki Hujan.


Gadis muda itu ceria, selalu terlihat bahagia. Rambut lurus indahnya tertutup rapi oleh sehelai kain mulia. Bertemankan seekor kucing putih yang selalu ia belai tatkala embun terlahir ke dunia. Ia cantik, gadis putih orang memanggilnya. Dengan sayap yang kadang merekah, ia bisa menggerakkan semua benda langit. Sebuah keajaiban dari-Nya. Tapi, ia terlalu banyak memiliki kehilangan. Hingga kadang kala berontak. Dan kali ini, ia berdiri di tengah hujan. Mencoba berlari, menggerakkan gumpalan awan hitam dari hidupnya. Gadis Putih.


Seorang remaja, yang terpisahkan dari kehidupan remajanya. Di saat orang lain berbahagia dengan masa mereka, ia hanya terpekur. Terluka oleh beberapa sayatan kehidupan. Tapi, luka itu kini mengering. Ia mencoba membiarkan rasa itu pergi dengan angin. Angin yang datang sebelum hujan.
Harmoni tetesan hujan jatuh, beradu dengan simfoni harmonika yang selalu ia bawa. Harmonika yang membuatnya bisa memainkan perasaan orang lain. Hingga ia bisa berbicara pada sosok yang tak bisa terlihat. Ia selalu hadir saat awan gelap, dan angin menari. Sesosok Panah Hujan.

Mereka adalah Anak-anak hujan yang mencoba menghiasi dunia dengan pelangi. Sebuah pelangi yang abadi. Keindahan penciptaan Tuhan. Sang Lelaki Hujan dengan kemampuannya berpindah tempat, mencoba mencari kesedihan di pelosok belahan dunia untuk berbagi kebahagiaan. Dan Gadis putih dengan kemampuannya menggerakkan awan dan bulan, mencoba memberikan penerangan bagi dunia tentang keindahan hidup. Lalu, Panah Hujan dengan harmonika yang selalu ia bawa. Meniupkan harmoni yang menyegarkan kusamnya dunia. Mereka anak-anak yang pernah terluka. Tapi hadir bersama hujan. Menyuburkan perdamaian dan menanamkan pundi kehidupan. Bahwa kehidupan terlalu sempit untuk dilalui dengan kesedihan.

13 Oct 2008

Gadis Putih


"Aku ingin melukis dunia dengan warna. Tapi yang kutemukan hanya putih. Pucat dan ketakutan. Tak ada goresan karena tak ada keberanian. Seperti keberanianku untuk merasa memilikimu"

Kamis ini, semilir angin beserta tarian dedaunan menghiasi hariku. Tergolek di luar sana, jasminum sambac hampir layu mengharap hujan. Awan berderek bergerombol tiba. Dari putih seketika menghitam.

Hitam. Sebuah representasi ketidakhadiran cahaya. Seperti hari-hariku yang berlalu sejak aku berani mengenal rindu. Mencicipi rasa. Entah itu rasa apa. Aku terlalu malu. Aku terlalu menjauh. Mengharap dan mengulur. Tapi tak mengurai. Aku tetap beku.
Beku berselimut kegelapan. Pada mata, juga pada hati. Aku tertutup. Tak berani merasa.

Sejak aku mengenalnya. Seperti saat ini. Saat menjelang hujan. Dia tiba. Dan pergi tergenang. Walau sebentar aku menari dibawah lantunan hujan bersamanya. Aku terdiam dan malu. Disaat lain, hatiku menyanyi riang banggakan kehadiranku di dunia. Karena aku bisa merasa, merasakan hal itu. Entah apa aku menyebutnya. Tapi, aku bahagia. Karena mata itu, mata yang tajam dan indah. Tatapan yang sedikit demi sedikit mengurai keberanianku menatap, sebagaimana aku menatap pelangi setelah hujan.

Hari ini. Sebuah pengharapan berpadu rindu. Sangat dekat. Ibarat rindu mengepal di jari manisku dan pengharapan di kelingkingku. Terjebak jarak dan waktu. Entah. Aku hanya bisa menunggu. Menunggu dengan resah. Keraguan, karena aku wanita. Karena aku tak bisa memulai untuk mengungkap. Dan aku malu pada awan.

Dia yang tak pernah lepas dari pikiranku. Menggerayang semua imajinasi indah. Semua keindahan yang belum berani untuk ku ungkap. Sesosok lelaki, di bawah hujan berdiri tegap. Pancarkan energi suci untuk bisa merindunya. Kekuatan besar yang datang saat ku tidur. Saat ku lelah. Saat ku sedih. Membuatku tersenyum. Lelaki tampan di mataku. Yang selalu hadir dari utara. Bersama arak-arakan awan hitam dan hembusan angin. Berjalan dalam tuntunan hujan. Bertahtakan serat-serat halus ikal rambutnya. Tegap tapi tak angkuh. Dan aku kembali menuliskan bahwa ini rindu.

Aku tak sempat berpikir mengapa aku bisa merindunya. Aku tak sempat berpikir, mengapa aku merasakan hal ini secepat ini. Mengapa simpati ini tiba saat aku dahaga.
Sejak pertemuan singkat. Aku menjemputnya dari sebuah lingkaran yang menjebaknya. Sebuah bayangan gelap. Beruang dan tak bertepi tanpa ujung batas. Sebuah ironi akan kehidupan. Membuatku paham, bahwa kehidupan tak hanya bisa terlihat indah dalam teropong keindahan.

Lelaki itu, kumerindunya. Rindu saatnya bertutur, bahwa hidup adalah sebuah perjuangan. Yang akhirnya ia sendiri, gugur. Jatuh, mati dalam sebuah kehidupan.

Ruang kamar ini. Senyap. Kutatap tabung aquarium bulat. Makhluk kecil indah bersisik dan bermata besar meliuk. Terbang dalam air. Bertanya padaku. Pada mataku yang tak bisa berbohong. Bahwa aku dalam kesedihan dan siksa.
"Adakah seseorang yang kau harap hadirnya ?"
"Iya, seseorang yang menggelayut dalam hatiku. Untuk selanjutnya mengakar dan melumpuhkan ide serta nalarku. Seseorang yang sangat kurindu"

"Tataplah hujan, bersama tetesannya. Kau akan menemukannya"

Aku beranjak,
"Benarkah ?"

"Ia di sana. Di gerbang tempat ia mengemis sebuah harapan. Tempat ia mengais sebuah asa. Gerbang terbuka. Yang kau akan membukanya bersama cinta"

Ia ada. Ia hadir. Dan aku bergembira !!!

Oh, tidak. Ia bersinar dalam kegelapan. Ia terang dalam pekat. Sebuah cahaya di bawah guyuran hujan. Sebuah penantian yang kini tiba.
Tatapannya. Tatapan mesra. Tatapan tajam bersimpati. Di balik pagar rumah putih ini. Di balik sebuah ironi akan kasih yang tak sampai. Kasih yang terpagar.

Aku balas menatapnya. Dengan binar. Binar yang kujemput dengan air mata. Sebuah kebahagiaan.

Aku berseru padanya dari dalam hati.
"Duhai yang kurindu, tak kusesali rindu berbuah ini. Biarkan buahnya ranum. Dan daun rindangnya berguguran. Aku bahagia."

"Aku mengerti keinginanmu. Tunggu aku di sana. Di pucuk harapan."
Telunjukku melentik tajam pada sebuah tujuan. Sebuah kebahagiaan.

Tapi, ia menghilang. Ia lenyap bersama segukan. Ia raib membawa harapan.
Tak alang aku kehilangan pijakan. Ku berlari. Aku berlari mengejarnya.
Aku menyesal, mengapa perasaan ini tidak kuungkapkan. Apa karena kau lelaki dan aku wanita. Kau memberi dan aku penerima.
Aku merutuk. Mengapa aku lebih menikmati diriku dalam jeratan norma. Norma tabiat wanita yang cenderung menunggu. Menunggu ungkapan perasaan. Penuh resiko dan dilema.

Dalam jenak aku berfikir. Apa hanya aku yang merasakan perasaan ini ?
Mengapa aku selalu dibatasi dinding waktu untuk bertemu dengannya. Tidakkah ia merasa seperti yang aku rasa ?

Aku menyusulnya. Entah kemana. Aku hanyutkan diriku bersama harapan. Bersama payung. Aku takkan menggunakan payung ini tanpanya. Karena payung ini hanya untukku dan untuknya.

Yakin berbisik dalam hati. Bersama payung yang terbuka ini. Terbuka dan berbisik isi hati. Isi yang belum terperas. Perasaan yang tersembunyi bukanlah tak tersampaikan, tapi ia mengendap. Untuk selanjutnya berbuah atau bahkan membusuk.

I don't know you
But I want you
All the more for that
Words fall through me
And always fool me
And I can't react
And games that never amount
To more than they're meant
Will play themselves out

Falling slowly, eyes that know me
And I can't go back
Moods that take me and erase me
And I'm painted black
You have suffered enough
And warred with yourself
It's time that you won

Take this sinking boat and point it home
We've still got time
Raise your hopeful voice you had a choice
You've made it now
Falling slowly sing your melody
I'll sing along


Dalam tirai hujan. Aku mencari, memilah jalan yang mana yang akan aku tuju. Bersama air mata bercampur hujan. Air mata penyesalan. Sebuah ungkapan yang tertahan. Tercekat bersama nafas yang pelan. Hingga tiba di lereng hijau. Tertancap tugu putih, lambang dari sebuah cinta. Tegap, tinggi, putih bersih karena selalu tersapu hujan.

Ia tertegun disana. Aku menemukannya. Dan payung ini masih terbuka.
Biarlah hujan jatuh. Dan aku bertumpu pada kenyataan yang meragukan.

*Mimiii... Tyrr... kasih masukan doonk.. saya ga da feel niih..

9 Oct 2008

Lelaki Hujan

Hujan rintik-rintik sore ini. Berawal dari sebuah kegelapan yang diciptakan gerumulan awan hitam. Sejak pagi, hari ini tak ada yang cerah. Semuanya bernuansa gelap. Nuansa yang dulunya kusukai, hilangnya massa, hitam dan kelam. Tapi sejak hari ini, ada sebuah ketakutan bersarang dalam dadaku. Sebuah ketakutan akan akhir sebuah hidup. Berakhirnya sebuah takdir.

Tak ada senyuman menyambut hariku, kamis. Hari kamis. Terdengar begitu megah, anggun mengikuti setelahnya Jumat. Hari libur bagi sebagian orang yang mempercayainya sebagai hari raya. Hari wheraspati yang identik dengan Yupiter. Sebuah obyek langit tercerah setelah matahari, bulan dan venus. Walau terkadang, aku sendiri menganggap Yupiter penuh dengan misteri. Seorang dewa.

Kamis kali ini, daun-daun ikut menyambutku dengan membiarkan diri mereka terbang lalu jatuh ke bumi. Menyatukan raga bersama alam. Untuk kembali setelah tinggi bertengger bergantung pada dahan kokoh sebuah pohon. Daun-daun kering yang jatuh berputar menari bersama angin yang meniup mereka entah kemana. Utara. Arah angin yang pertama kali kukenal. Sebuah lambang dimana semua orang bertumpu pada utara untuk mengetahui setelahnya arah-arah angin lainnya.

Rintik hujan jatuh membuat sebuah simfoni indah, tapi menyayat. Bersama daun-daun coklat menghiasi frame sore ini. Sore kamis. Sore Yupiter. Aku menunggu progress keras dari nuansa sore ini. Tapi, entah aku terhenyak. Aku terpaksa beranjak. Menuju sebuah arah yang aku sendiri tak mengerti mengapa dia kutuju. Ada sebuah magnet yang menarikku. Sebuah tarikkan kuat. Memaksaku melupakan diri sejenak. Memaksaku melupakan jasad yang berdiri ini adalah diriku sendiri.

Aku berjalan gontai, menuju sebuah arah. Arah yang bukan utara, juga bukan barat. Lurus. Tak terhenti. Sebuah tarikan kuat. Sebuah rindu. Rinduku pada seseorang yang tak mungkin merindukanku. Aku pernah mendengar bahwa rindu adalah buah dari sebuah rasa memiliki. Tapi, sesungguhnya ia takkan pernah kumiliki.

Aku berhenti pada sebuah tumpuan lunglai kaki tua berumur seperempat abad. Kaki yang akan beranjak mengikuti hembusan angin. Pelan ataupun sepoi-sepoi. Dihadapanku berdiri angkuh sebuah pagar tinggi besar. Ranum kehijauan cat yang hampir saja luntur oleh pergelutan bersama hujan dan terik mentari. Dibelakang pagar itu, sebuah rumah putih besar berarsitektur kuno Prancis. Yang ketika saat kutiba, seperti berdehem angker. Memaksa orang yang kotor dan kecil sepertiku untuk pergi.
Dan lagi-lagi, tarikan magnetis itu muncul kembali. Dibawah hujan ini, aku menatap tajam ke arah jendela yang setengah terbuka. Berhias gorden abu-abu terlipat rapi. Dalam ketidak beranjakanku, aku menatap mencari. Inilah yang kutunggu.

Dan aku sendiri, tak tahu apa yang kutunggu. Aku menanti.


Sekelebat cahaya putih, di sana. Sebuah cahaya mata. Cahaya hati. Cahaya yang kurindukan. Sesosok cahaya. Atau entahlah apa kumemanggilnya. Dialah rinduku. Rindu yang kutahan dan kupendam dalam-dalam dipeti rahasia hatiku. Seorang sosok berhias rambut indah dan wajah putih kemerahan. Ranum. Andai saja ia sebatang ficus benjamina moraceae, seangker apapun akan kurengkuh ia. Karena ia suci, dan karena ia tercipta untuk melindungi.
Aku menatapnya tajam. Berusaha menarik perhatiannya. Kupertajam tatapan. Dan darahku berdesir. Wajah oval indah putih berhias bibir merah keranuman. Mata bulat bening, sebening mata air. Dan rambut itu. Rambut indah dalam balutan hitam mutiara. Dan sekali lagi, aku berdesir kagum. Tuhan, kau ciptakan makhluk yang kucinta. Dan aku mencintai-Mu. Walau ia tidak.

Aku menatap, menanti balasan tatapannya. Aku berharap, seandainya saja kutuliskan harapanku padanya diatas dedaunan. Maka bumi tak ada yang memayungi lagi, selain gedung-gedung angkuh itu. Aku sungguh mencintaimu.

Dan, hatiku terkesiap. Dia menatapku. Tatapan bening berair. Seakan berkata.
"Mengapa kau berdiri disana ?"

"Aku berdiri bersama hujan untuk menjemputmu. Agar langit menyaksikan bahwa aku takkan sendiri. Aku takkan tergenang di sini"

Tatapannya tajam, beraut.
"Tahukah engkau bahwa awan telah menjemputku dengan naungan ? Hingga aku berteduh di rumah ini. Bersama gemuruh yang memperingatkanku untuk pergi dari hujan ? "

"Aku tahu, dan aku akan membawamu kepada embun dan pelangi untuk menghiburmu bersama cahaya"

Tapi, seketika tatapannya berubah.
Telunjuknya berdiri anggun. Mengarah pada utara. Ya, pada utara. Seakan berkata.
"Pergi, beradulah pada hujan. Beradulah pada tiap tetesannya yang jatuh kebumi. Beradulah pada kelam air mata alam ! Dan jangan lagi hampiri aku disini"

"Pergi, niscaya hujan ini takkan reda. Dan kau akan menangis bersama genanganmu. Lalu mengalirlah kelaut dan jangan kembali lagi di hadapanku".

Skreeeeeeeeeeeeeeekkk…! Jendela itu tertutup. Dan, hening bersama harmoni hujan.

Aku tercengang bersama jenak. Tapi tak berair mata. Hanya rengkuhan remuk yang kurasakan bersama hati. Entah mengapa, sekelilingku gelap dan sekejap berubah.
Aku telah berdiri di ujung lereng. Bersama basah, dan kehijauan hutan. Mereka turut berduka dan menunduk. Seakan turut merasakan perih dalam jiwaku. Hatiku menangis tanpa air mata jatuh kepipiku. Karena hujan. Hujanlah tangisanku. Dan hujan ini kian deras. Menghunjamku dalam tiap tetesnya ke bumi dan jasadku.
Angin kencang, guruh bergetar dan rintik yang ribut. Tak ada lagi dedaunan. Karena mereka bersembunyi. Takut akan kegelapan. Takut akan keputusasaan. Dan aku di sini masih berdiri.

Di depanku. Berdiri sebuah tugu putih besar tinggi. Dan aku ingin mengadu padanya akan kekejaman rasa yang mereka sebut cinta dan rindu.
Semilir, angin berbisik menyuarakan isi hatiku. Karena hujan.
Dan hujan merupakan satu bentuk presipitasi turunan cairan dari angkasa yang datang bersama guruh dan kabut. Hujan lahir hasil perkawinan titik air yang terpisah jatuh ke bumi dari awan. Orang-orang percaya tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi, sebagian menguap ketika jatuh melalui udara kering, dan begitu pulalah perasaanku kali ini. Menguap dan tidak sampai jatuh pada tempatnya.

Angin berbisik kencang. Teriakan kenyataan pada hatiku yang bisu. Lewat sebuah lagu.

***
Aku jatuh cinta padamu
Sejak pertama kita bertemu
Diam menghuni relung hati
Kau tak pernah perduli

Tuhan mengapa kau anugerahkan
Cinta yang tak mungkin tuk bersatu
Kau yang telah lama kucintai
Ada yang memiliki

Cinta sejati
Tak akan pernah mati
Selalu menghiasi ketulusan cinta ini

Jalan hidup telah membuat kita
Harus senantiasa bersama
Lewati Segala suka duka
Tiada cinta bicara

Cinta sejati
Selalu menghiasi ketulusan cinta ini
Dan kau
Selalu hanya diam membisu
Meskipun engkau tahu
Betapa dalam cintaku

Aku jatuh cinta padamu
***
Aku masih tergenang di sini. Menunggu pelangi, dan cahaya mentari. Mungkin nanti, biarlah aku menguap dengan panasnya waktu. Hingga aku tak lagi di sini.