Pages

27 Sept 2011

Asyiknya berkhayal.

Malam itu saya sebenarnya sangat lelah. Tapi saya paksakan, karena di undangan tertulis "Kehadiran Anda Sangat Penting". Merasa dijadikan orang penting, tanpa bisa menolak saya akhirnya menyanggupi undangan kumpul tersebut.

Kumpulnya sebenarnya sederhana. Hanya bicara perihal persiapan besok dalam acara pertandingan basket yang digelar oleh teman-teman mahasiswa Indonesia di Kairo. Kebetulan saya masuk dalam tim Antah Berantah. Rencananya, kami akan berbicara mengenai strategi apa yang akan kami terapkan besok dalam lapangan.

Awalnya memang serius, tapi lama-lama saya merasa bosan. Karena arah pembicaraan sudah jauh melambung. Wacana-wacana euforia kemenangan (yang belum diraih) besok dibiarkan lepas bebas mengalir dalam arus pembicaraan kami. Kami terbuai oleh angan-angan besok hari yang belum pasti. Tapi terus terang, ini indah.

Berkhayal, berangan, bermimpi atau berwacana, membuat saya mengawang-awang. Awalnya memang manis dan indah, tapi lama-lama bisa mematikan hati. Dan itu tak hanya terjadi sekali. Sedetik kita hanyut, beberapa jam kemudian kita akan tenggelam dan kelelep dalam lautan angan.

Lingkaran Setan

Begitulah kira-kira Pak Rhenald Kasali mengungkapkan opininya tentang wacana yang terlalu tinggi dan liar. Akhirnya tak bisa benar-benar direalisasikan. Yang berkembang justru bukan kenyataan, tapi malah wacana tersebut yang kian liar tak bisa dikendalikan.

Kita sering terjebak oleh konsep-konsep yang selalu mengiming-imingi harapan yang besar. Kalau tidak disertai oleh tindakan yang konkret dan jelas, hal ini bisa malah jadi bumerang bagi diri kita sendiri untuk tidak bisa berkembang dan kreatif.

Asyiknya berkhayal.
Menurut saya, kreatifitas itu tidak hanya dihasilkan dari karya-karya saja. Tapi kematangan konsep dan perilaku kita dalam mewujudkan konsep tersebut. Jadi, setelah wacana dan hasilnya di sana ada ruang kosong yang diisi oleh kreatifitas. Dan ini akan menghasilkan hal-hal yang dahsyat.

Kita harus berani berbuat, berani mengambil resiko sekecil-kecilnya. Dan tak boleh bosan dalam melakukan percobaan. Kita harus benar-benar keluar dari kungkungan lingkaran setan wacana ini. Begitu kurang lebihnya ungkap Pak Rhenald Kasali.

Coba dan perhatikan!

Ada sebuah idiom berbahasa Arab yang pernah masyhur di Pondok saya dulu. "Jarrib wa laahidz takun 'aarifan" yang artinya Coba! dan Perhatikan, niscaya kau akan tahu.

Idiom ini secara tidak langsung bisa kita jadikan senjata ampuh mewujudkan wacana kita. Jangan pernah malu mencoba dan gagal. Jangan takut gagal. Kegagalan itu bukanlah kejelekan. Gagal itu justru proses menuju sebuah keberhasilan. Tentunya apabila kita terus mengoreksi diri dan mengevaluasi langkah-langkah yang sudah diambil.

Kita tentu bisa membayangkan seandainya dulu Thomas Alfa Edison larut dalam wacananya tentang cahaya bola lampu, entah tahun berapakah kita akan bisa menikmati lampu yang ada sekarang. Tapi kenyataanya, beliau berhasil keluar dari wacananya, dan mempraktekkan idiom tersebut. Hasilnya, apa yang kita nikmati sekarang. Terang benderang!

Berangan, bermimpi yang tinggi memang indah. Tapi apabila terlalu tinggi, dan kita belum mempersiapkan tempat jatuh yang empuk. Sama saja dengan bunuh diri. Maka dari itu, persiapkan diri. Jangan sampai kita menjadi bukti Idiom Arab yang berbunyi "Halaka-mru'un lam ya'rif qadrahu" Binasalah seseorang yang tak tahu diri (belum mempersiapkan dirinya).

20 Sept 2011

Salahkan saja kucingnya!

Saya heran ketika membaca sebuah berita di salah satu media dotkom tentang aksi protes para wanita terhadap pernyataan Gubernur DKI Jakarta tentang langkah antisipasinya terhadap aksi perkosaan yang selama ini terjadi.

Dalam berita tersebut, berikut komentar-komentar di bawahnya, tampak sekali mereka lebih mengkritik pernyataan tersebut. Malah ada yang terang-terangan tidak suka dengan pernyataan tersebut yang "katanya" memojokkan kaum hawa.

Bang Foke, sapaan akrab Gubernur DKI Fauzi Bowo, menyatakan bahwa beliau mengkritik para wanita yang kini lebih banyak menggunakan rok mini di tempat umum. Hal ini bisa menimbulkan stimulus-stimulus yang berakibat pada maraknya aksi perkosaan terhadap wanita.

Anehnya, banyak sekali yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Malah banyak yang menyitirnya ke arah pengekangan hak asasi manusia untuk berbusana. Dalam hati saya, afa-afaan ini??!!

Bang Napi
Kekacauan 

Salah seorang teman saya mencoba menganalogikan kasus ini dengan perumpamaan unik. Ada seorang pemudi  meletakkan ikan goreng di lantai tanpa penutup. Ketika sang pemudi lengah, datang seekor kucing mengambil ikan tersebut. Lalu memakannnya. Tak lama kemudian pemudi tersebut menemukan ikannya tinggal tulang. Lalu memarah-marahi sang kucing yang tanpa dosa sudah memakan ikan tersebut.

Dari kasus di atas, siapa yang salah?

Kata bang Napi yang sudah menjadi jargon di dunia kriminalitas, "Ingat, kejahatan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!"

Kalau kita kembalikan kepada kasus perkosaan yang marak akhir-akhir ini. Pantasnyalah kita selalu mengintrospeksi diri. Kasus-kasus itu terjadi bukan karena tanpa sebab. Pasti ada sebabnya. Selain karena ada niat pelaku, juga karena ada kesempatan yang diberikan pada mereka lewat penampilan-penampilan seronok.

Kalau ada yang berpendapat, "Di luar negeri, memakai rok mini dan bikini saja biasa-biasa saja.. aman kok". Saya jadi penasaran, di belahan negeri mana itu? Mungkin yang berpendapat demikian terlalu banyak menonton film barat yang mengaku rasionalis tapi nyatanya dalam film-film mereka semuanya adalah mimpi.

Kita sebagai bangsa Indonesia tidak seharusnya melulu mengaca pada apa yang terjadi di Barat. Kita bangsa Asia. Kita tidak siap kalau harus menerapkan 100% semua apa yang ada dari sana. Bangsa kita bangsa yang berbeda. 

Berbicara masalah hak asasi berpenampilan pun di sini saya rasa kurang tepat. Kebebasan seseorang dibatasi oleh hak orang lain. Justru dengan anjuran tersebut, pemimpin kita berusaha menjaga hak asasi kita sebagai manusia yang mulia.

Antisipasi

Tidak berlebihan akhirnya kalau bang Foke mengeluarkan statemen demikian. Harus ada sinergi antara pemerintah selaku penjaga keamanan dan masyarakat yang menciptakan keamanan diri mereka sendiri. Pemerintah harus sigap menanggulangi setiap tindak kriminalitas yang terjadi. Baik dengan memperketat pengamanan di titik-titik rawan maupun dengan penyuluhan-penyuluhan.

Masyarakat bertugas mengkondisikan rasa aman bagi dirinya sendiri. Dan mereka harus menumbuhkan rasa aman dari dalam diri mereka. Bagaimana? Yaitu dengan meminimalisir kesempatan bagi para pelaku tindak kejahatan. Juga dengan selalu bekerja sama dengan aparat keamanan.

Ingat sebuah ayat dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa yang berbunyi, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu."

Bagaimanapun, apa yang dianjurkan oleh pemimpin kita selama itu menuju kepada kebaikan harus kita taati. Apalagi yang berhubungan dengan keselamatan dan keamanan kita. Karena kita-lah yang bisa mengkondisikan keamanan bagi diri kita sendiri.

Wallahu a'lam.