Pages

20 May 2011

Perdebatan Meja Makan


Saya mencoba kalem-kalem saja ketika sadar bahwa seharian ini saya tidak beranjak kemana-mana. Entah malas atau apa saya biasa menyebutnya, yang jelas saya merasa duduk dan diam di rumah lebih nyaman ketimbang keluyuran di luar. Ada sekat yang tak terlihat di antara lubang pintu.


Ketimbang saya menggerutu tak jelas, saya berusaha mengalihkan dengan membaca buku (memang seharusnya begitu). Tapi otak ini menolak mentah-mentah apa yang sudah saya baca. Tulisan-tulisan itu hanya sampai retina, belum masuk ke hati apalagi otak. Sudahlah, sambil menggerutu tak jelas saya menuju dapur.


Sayup-sayup saya mendengar lagu sendu dari sebuah grup band lokal. Mengiang-ngiang beradu bersama suara isi penggorengan yang sedang saya garap. Isinya kurang lebih begini:


sungguh aku tak bisa, sampai kapanpun tak bisa

membenci dirimu, sesungguhnya aku tak mampu

sulit untuk ku bisa, sangat sulit ku tak bisa

memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa

Manusiawi memang. Kalau mendengar musik, tak alang entah itu dengkul atau tumit pasti terpancing untuk bergerak. Mengikuti lantunan nada mendayu, bergerak dinamis kesana kemari. Kalau tak ingat sedang berada di dapur, bisa saja saya jadikan sutil penggoreng pengganti microphone. Heheh


Masakan jadi. Penuh protein dan karbohidrat. Juga cacapan asam kamal yang bahan intinya saya bawa dari Indonesia baru-baru ini. Melenggang menuju ruang makan, hati girang. Makanan segera terhidang. Teman-teman datang, melihat menu terhidang mata mereka terang.


Resepsi makan-makan pun berjalan dengan obrolan santai. Sementara itu suasana masih tenang. Tapi beberapa menit kemudian pecahlah obrolan menjadi sebuah perdebatan. Naluri saya bertanya, ada apa gerangan?


Perseteruan terjadi antara kedua teman saya, sebut saja A dan B. Mereka saling mengukuhkan bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Si A menuding si B mempertahankan kebatilan, sebaliknya B tak mau kalah. Apa pula masalahnya?


Ternyata mereka berbeda pendapat tentang penggunaan huruf "K" pada akhir kata. Hal ini bermula dari lagu yang sempat mengalun tadi. Bak lomba Kelompencapir yang terkenal di TVRI dulu mereka berdebat. Meja makan berubah menjadi meja presentasi. Si A berkeyakinan bahwa semua kata berakhiran "K" harus dibaca "K" secara jelas. Contohnya, kata kotak dibaca kota(k), tidak dibaca tida(k). Dan lagu tadi akhirnya harus dinyanyikan dengan jelas seperti:


sungguh aku ta(k) bisa, sampai kapanpun ta(k) bisa

membenci dirimu, sesungguhnya aku ta(k) mampu

sulit untu(k) ku bisa, sangat sulit ku ta(k) bisa

memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa


Sedangkan B berpendapat sebaliknya. Tidak semua huruf "K" pada akhir kata dibaca jelas, ada beberapa pengecualian di sana. Contohnya, tidak menjadi tida', capek menjadi cape', dan lain sebagainya. Walhasil, lagu itu pun menjadi berbunyi:


sungguh aku ta' bisa, sampai kapanpun ta' bisa

membenci dirimu, sesungguhnya aku ta' mampu

sulit untu' ku bisa, sangat sulit ku ta' bisa

memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa


Akhirnya keduanya berhenti sebentar untuk mengambil nafas setelah gencar beradu argumen. Lucu saja, saya membayangkan kalau semua kata dibaca jelas, maka enggak harus menjadi engga(k). Atau tidak dibaca semuanya dengan jelas, maka handuk menjadi handu'? Hahaha

Tawa saya terhenti ketika mata keduanya melirik tepat ke arah saya, tatapan mereka masuk menghunjam ulu hati. Isi pesan tatapan itu adalah : Tolong dukung saya! Kuatkan pendapat saya. Oalah, meminta dukungan ternyata.


Akhirnya saya putuskan untuk tidak mendukung siapa-siapa. Kedua-duanya benar, dan tujuan keduanya memang mulia. Yaitu mempertahankan bahasa Indonesia yang baku, baik dan benar. Saya hanya tidak mau perbedaan tentang hal-hal seperti ini malah menambah jumlah perbedaan yang sudah tidak terhitung di atas muka bumi ini. Perbedaan memang rahmat, tapi membedakan diri itu kholif tu'rofnamanya.


Lebih baik menikmati hidangan yang berbeda di atas meja. Ada ikan kering sepat di sana, ada juga ikan kering gabus. Plus cacapan asam khas Kalimantan. Amboi





Eksistensi Manusia menurut Ibn Rusyd

"Kak Irfan…"


Saya seperti limbung mau terbang kalau mendengar seseorang memanggil seperti itu. Siapapun dia yang memanggil, apapun panggilannya, asal nama saya disebut, saya senang sekali. Saya merasa bahwa kehadiran saya dirasakan. Eksistensi saya diakui. Ana yu'tabar jell!!!~


Manusia manapun akan bahagia kalau eksistensinya diakui. Karena memang sebagai fitrahnya, manusia butuh pengakuan eksistensinya. Sehingga kelangsungan hidupnya bisa berjalan. Bayangkan saja, secara naluri. Manusia ketika berbicara dia ingin didengarkan, maka dia akan berusaha mencari perhatian lawan bicaranya. Baik itu dengan mengangkat tangan atau mengeraskan suara. Tak lebih untuk sekedar menyatakan bahwa dia ada dan ingin didengarkan. Seperti hal itu pula dalam hubungan mu'amalah. Dalam belanja, membutuhkan bantuan manusia lain. Tanpa pengakuan dari orang lain, dia bukanlah apa-apa. Padahal manusia itu adalah madaniy bitthab'iy.


Kita mungkin tak terlalu asing dengan nama Averroes atau Ibnu Rusyd. Beliau adalah filsuf Muslim yang terkenal. Banyak dari pemikir-pemikir Barat mengambil ide-ide beliau. Salah satunya, sekte Dominikan pada zaman pertengahan yang banyak mengadopsi terjemahan-terjemahan Ibnu Rusyd dari pemikiran-pemikiran Aristoteles. Sekarang, bagaimana pendapat Ibnu Rusyd terhadap eksistensi manusia?


Berbicara tentang manusia kita tidak bisa lepas dari definisi al-Nafs. Karena menurut Ibnu Rusyd, manusia itu terdiri dari dua hal. Yang menggerakkan dan yang digerakkan. Yang digerakkan ini lebih bersifat bentuk, sedangkan yang menggerakkan lebih bersifat materi. Yang menggerakkan ini sendiri menurut Ibnu Rusyd terdiri dari dua hal yang berbeda secara realita, yakni ar-Ruh (nyawa) dan al-Nafs (jiwa).

Allah SWT menciptakan untuk manusia kebaikan dan keburukan (al-Khayr wa al-Syarr). Manusia dibebaskan untuk memilih diantara kebaikan dan keburukan tersebut, hal ini biasa disebut hurriyatul ikhtiyar. Manusia diberikan kebebasan penuh untuk berbuat. Dan tentu di balik hal itu ada tersimpan hikmahnya.


Ibnu Rusyd terkenal dengan idenya yang mengatakan bahwa al-Nafs itu hanya satu. Berpedoman dari Surat An-Nisa ayat 1 dan ayat-ayat yang lain menyatakan bahwa al-Nafs itu hanya satu. Dan menurut beliau, al-Nafs inilah yang mempunyai peranan besar dalam diri manusia untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.


Dari sini jelas bahwa Allah SWT menciptakan kebaikan dan keburukan serta memberikan kepada manusia kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya dengan memberinya kebebasan memilih. Tidak ada paksaan. Dia memilih kebaikan, dia berhak akan surga. Begitupun sebaliknya, dia memilih keburukan, baginya neraka. Apabila manusia tak dibebaskan memilih dan berbuat, lantas apa wujud dari eksistensinya di muka bumi ini? Manusia tak lebih dari sehelai kapas yang diombang ambing oleh tiupan angin.


Contoh lain bisa kita temukan di kampus ketika ujian. Kita diberikan kebebasan oleh Duktur untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di kertas soal setelah sebelumnya kita pelajari mana yang benar dan mana yang salah. Eksistensi kita sebagai mahasiswa terwujud kalau kita berhasil memilih jawaban itu dari apa yang kita pelajari. Benarkah itu atau salahkah, pada intinya kita sudah menjalani ujian secara baik dan benar. Dari situ jelas terwujudnya eksistensi Ujian sebagai proses berlangsungnya al-Ikhtibar, eksistensi Duktur sebagai seorang guru yang mengajar dan menguji, dan eksistensi kita sebagai mahasiswa yang belajar dan diberi kebebasan menjawab. Kalau kita benar, kita berhak untuk dibenarkan. Kalau salah, kita tidak mungkin dibenarkan.


Jadi, menurut Ibnu Rusyd. Kebebasan manusia memilih kebaikan dan keburukan yang diciptakan oleh Allah SWT adalah salah satu wujud aplikasi dari pengakuan eksistensi manusia. Juga sebagai pengakuan bahwa Allah SWT Maha Adil atas hamba-Nya seperti tertuang dalam surat Fushilat ayat 46.


Sebuah pepatah mengatakan: kalau kau ingin dikenang, kau harus membuat kenangan bagi orang lain. Dalam bahasa lain, kalau ingin diakui oleh orang lain, berbuatlah sebanyak-banyaknya agar orang mengenalmu.


Wallah a'lam.

Ransel


Ransel itu, ransel yang sama ketika empat tahun yang lalu aku merajut asa kepergianku ke negeri ini. Ransel tempat aku membawa cita-cita dan bekal hidup. Di dalamnya kutaruh harapan dan doa, kutitipkan padanya segala angan dan kenangan.


Pelan-pelan kulipat cita-cita, kutumpuk menjadi satu. Menjadi sebuah sinergi, seperti apa yang aku inginkan. Pesan-pesan dan doa kuselipkan, agar isinya padat. Agar aku tak kekurangan bekal. Bekal untukku hidup di sini, memanjangkan umur, mencatat sejarah dan memilih jalanku sendiri.


Entah, aku bahagia sekali berkemas dengan ransel ini. Dulu, ada semangat tersendiri terhadapnya. Seperti akan berlibur panjang, seperti akan menyaksikan sebuah pertunjukkan dengan happy ending yang memuaskan. Aku yakin, di sebuah titian akhir, akan ada sebuah kebahagiaan di sana.


Sesampai di tujuan, pelan-pelan aku mengeluarkan isinya. Takut bekalku habis, atau malah hanya pelit pada diri sendiri. Aku begitu mencintai ransel ini, berikut isinya. Menjinjingnya, memikulnya, hingga menikmati isinya merupakan sebuah kecintaan tersendiri. Banyak harapan di sana. Bukan hanya harapanku, harapan mereka. Kalian juga.


Tapi, kepulangan kali ini. Aku begitu membencinya. Aku takut berkemas. Seperti tak melihat tujuan di depan sana. Aku khawatir, akan ada badai dan aku goyah menghadapinya. Aku takut menyaksikan sad scene yang pasti datang, ingin men-skip bagian itu, lalu kembali duduk manis menyaksikan bagian senangnya saja. Pragmatis? Kurasa semua orang ingin begitu.


Aku merasa ransel ini terlalu berat, basah, berbau. Entah isinya busuk atau banyak yang pecah. Aku hanya bisa menyeretnya pelan. Pelan-pelan menuju apa yang aku inginkan. Aku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan. Tapi kali ini, hal itu membuatku seakan tidak pernah tau sebelumnya. Banyak sekali lipatan-lipatan kenangan, juga bungkusan harapan yang masih belum aku buka. Aku harus merelakan semuanya hilang. Aku belum menikmatinya.


Sebelum terburu-buru memutuskan mengganti ransel baru, aku ingin mengatakan bahwa aku masih mencintai ransel ini dengan apa yang pernah aku bawa di dalamnya. Dengan cita-cita dan harapan yang kusimpan dalam-dalam di dalamnya. Dalam cinta yang selalu aku bawa kemanapun aku berada.

Dari Kafe, Menyapa Dunia


Di tengah hebohnya demonstrasi besar-besaran kemarin di Maidan Tahrir. Demonstrasi yang tak bosan-bosan menghiasi headline beberapa media lokal Mesir maupun mancanegara. Tak menyangka bahwa sebenarnya keadaan itu seperti terangkum dalam sebuah miniatur kecil obrolan-obrolan maqha (kafe) di kota Kairo.


Seperti orang Melayu yang digambarkan Andrea Hirata dalam Padang Bulan, orang-orang Mesir sangat suka menghabiskan waktunya duduk di maqha. Sambil memutari meja kecil, mereka memulai obrolan seperti kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pemirsa, acara khas di TVRI dulu). Masing-masing mengeluarkan pendapat, ada yang menguatkan, ada pula yang membantah. Kadang, nada meninggi kemudian tiba-tiba gelak tawa pecah. Dengan sedikit memuat anekdot-anekdot lawak khas Adel Emam. Jarang sekali ditemukan kesimpulan yang sama. Karena masing-masing punya pendapat dan keinginan yang berbeda.


Maqha juga menjadi sumber pendapatan bagi para penjual koran dan penyemir sepatu. Sambil mengobrol sengit, pipa shisha di tangan, kaki menjulurkan sepatu untuk disemir, mereka seperti memasuki sebuah social networking seru selain Facebook dan Twitter. Obrolan di maqha juga ada istilah yang lazim di Facebook maupun Twitter. Ada komentar, like, maupun re-tweet. Kadang mereka mengomentari situasi politik, naiknya harga isy, maupun keruwetan lalu lintas kota. Kalau ada yang sependapat, tak jarang yang lain ikut membenarkan seperti men-like pernyataan sahabatnya. Ada juga yang menre-tweet kabar berita yang baru saja dia baca dari beberapa media cetak lokal seperti Al-Masry Al-Youm, Al-Shorouq, Al-Wafd atau Al-Gomhoriya.


Kafé di Mesir tidak hanya sebagai tempat duduk santai. Banyak orang mengibaratkan kafe di Mesir bagai "miniatur negara". Di kafe, orang-orang Mesir betah duduk berlama-lama sambil mengobrolkan berbagai macam masalah. Mulai masalah politik, ekonomi, budaya, sastra hingga masalah keluarga. Tak heran jika mereka seakan-akan terlihat seperti pengangguran karena bisa menghabiskan waktu seharian di kafe.

Sejarah juga mengatakan bahwa pergolakan revolusi Mesir di mulai dari kafe-kafe. Banyak sekali orang-orang besar yang memulai langkah besar mereka dari kafe. Bisa disebut, Naguib Mahfouz, seorang sastrawan besar Mesir peraih nobel pada tahun 1988. Tulisan-tulisan tajamnya adalah hasil kontemplasinya di pojok kafe Kairo. Salah satunya yang tersohor adalah Kafe El-Fishawi.


Ketika ramai demonstrasi bergejolak pun, tak sedikit dari orang Mesir yang memulai taktik strategi atau menyusun tuntutan mereka terhadap pemerintah di kafe-kafe sudut kota Kairo. Bahkan, berita-berita perkembangan situasi pun terus mereka pantau dari televisi-televisi di kafe-kafe. Sambil menghisap shisha, menghembuskan asapnya, menggerutu atau malah berkomentar dengan nada yang bersemangat.

Berikut adalah menu-menu mayor beberapa kafe di Mesir.


Syai (Teh)

Dalam buku panduan wisata Fodor's tentang Mesir cetakan The American University in Cairo Press, Syai adalah minuman umum masyarakat Mesir. Minuman ini tak mengenal siapa yang kaya, siapa yang miskin, tua, muda, politisi, hakim, polisi, bahkan supir taksi. Semuanya penggemar berat Syai. Minuman ini bisa diseduh kapanpun. Baik ketika ujian (bagi teman-teman Al-Azhar), maupun di tengah sibuknya suasana perkantoran. Seringkali saya melihat orang-orang Mesir berjalan dengan tergopoh-gopoh menenteng segelas teh di tangan. Atau supir bus dan supir taksi menempatkan segelas teh di dalam kendaraan mereka.

Bagi orang-orang Mesir, Syai hitam dan manis adalah favorit. Kadang bisa disajikan dengan Ne'na' (daun mint). Atau kalau mau yang sejenis, bisa saja meminta disajikan teh rasa kayu manis, atau rasa apel. Tergantung selera masing-masing.

Orang Mesir biasanya melewati waktu meminum teh sambil bermain catur, backgammon, atau ditemani koran-koran sambil sesekali bersungut-sungut menyertakan komentar-komentar terhadap kinerja pemerintah.

Bagi anda yang pernah mampir ke Mesir. Tidak sah sebelum menikmati segelas Syai di atas bukit Muqattam sambil menikmati suasana kota Kairo malam hari.


Shisha

Pada zaman modern kini, rasa shisha tak hanya buah-buahan. Kini, tersedia berbagai macam rasa. Mulai rasa capucinno,coca-cola hingga rasa koktail.

Konon, menghisap shisha bisa memberikan rasa tenang. Maka tak jarang, orang-orang Mesir yang meledak-ledak bisa ditenangkan dengan menyodorkan kepada mereka sedotan shisha. Dengan gaya yang khas. Duduk santai, menghisap dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya berputar-putar. Seakan akan dengan hembusan tersebut, ikut pula masalah yang mereka pendam dalam hati. Tapi, bagi anda yang mempunyai gangguan saluran pernafasan. Saya anjurkan supaya tidak mencoba, sayangi paru-paru anda.


Qahwa (Kopi)

Kopi di Mesir sebenarnya sudah merupakan campuran dari kombinasi kopi-kopi luar. Hampir bisa ditemukan di setiapstore-store kopi. Tapi, yang khas adalah penyajiannya. Seorang pemuda tampak dengan tanggap berjalan cepat diantara orang-orang yang duduk sibuk mengobrolkan berbagai macam hal. Dengan lempengan besi berisi segelas air putih dan gelas kecil kopi yang kental. Dia tampak tanggap melayani berbagai macam permintaan. Cukup dengan menjentikkan jari.

Kopi kental hitam inilah yang menjadi sumber ilham seorang Naguib Mahfouz menelurkan karya-karyanya. Dari kritik sastra, politik hingga skenario film.


Sahlab

Susu kental yang panas, dengan kacang dan parutan coklat ini merupakan minuman paling nikmat di musim dingin. Biasanya, orang-orang Mesir menikmati minuman ini ketika berkumpul bersama kawan-kawan mereka atau keluarga. Di selingi seruputan sahlab, mereka mengobrol kondisi politik yang sedang berkecamuk. Mulai dari yang pro pemerintah sampai yang menginginkan perubahan.