Pages

10 May 2009

Fana (the Last)


Fana, begitu ia menyebut dirinya. Berdiri di ambang pintu harapnya, menantikan reda badai hatinya. Ia menyaksikan gulungan perasaan yang mengakibatkan pusaran angin puting beliung yang hancurkan asanya. Ia juga menyaksikan kilatan petir dan guruh gemuruh guntur amarahnya menyambar-nyambar kubah-kubah harapan yang dibangunnya dalam sebuah rangkaian cinta.

"Kau. Kau bisa menyalahkanku. Kau bisa membunuhku. Tapi kau takkan pernah bisa membunuh apa yang telah aku tanamkan dalam hatimu."

"Dan kalian. Kalian mencibirku dengan tatapan nista itu. Seolah aku lah sang Durjana. Tapi kalian tidak tahu seandainya keadaan kalian seperti keadaanku saat ini. Saat bumi dibalikkan, dan saat pucat di kening kalian di rentangkan. Aku bukan mencibir, tapi aku akan memberi kalian senyuman. Senyuman paling manis dari madu yang dijanjikan. Hanya saja, kalian cuma bisa berkata, "Ah.. itu kan.."."

Hingga akhirnya mentari jiwanya mengintip dari balik awan suram yang merentangkan jubah kegelapan hatinya. Mentari itu dengan cahayanya cukup membantu lentera optimisnya untuk menerangi gubuk hidupnya yang gelap yang terus digoyang oleh angin kencang yang bernama pesimis. Kini gelap telah hilang, berganti terang yang dihiasi senyuman manis pelangi hiburan. Segarkan alam dan hatinya yang tadinya diguyur hujan kesedihan.

Fana, begitu ia menyebut dirinya. Berkata, "Harapku bagaikan gelombang ombak yang inginkan bersua dengan daratan, tapi apa daya. Ia memeluk karang dan kembali ke laut menggulung seribu asa. Begitulah seterusnya yang ia lakukan"

Lalu ia beranjak, dan pergi bersama iringan simfoni embun cinta yang tak mungkin memuaskan dahaganya. Kecuali dengan hujan.




sumber gambar: http://www.ldesign.com/Images/Essays/GlobalWarming/Part67/hatendespair.jpg

1 comment:

Anonymous said...

bingung dgn mksd bold di akhir.

tapi rasa rasanya ada yang pernah saya baca entah di mana.

i get it, i think.
probably.