Pages

7 May 2008

Fana 6th

Pagi itu tak terlalu cerah. Kabut kelabu sembunyikan cantiknya biru langit hari itu. Dan hari tampak lelah berpacu dengan sang renta waktu.


****
Aku masih terduduk di sisi pagoda tinggi yang menjulang menantang langit. Bersandar pada bebatuan abu-abu hijau lumut. Menatap kosong ke depan. Lukaku belum terlalu sembuh. Dan mungkin masih mengeluarkan darah dan penderitaan dalam hatiku.

Aku melamun dan sejenak mengingat saat itu.
Saat aku berjalan bersama yang kukasihi. Aku merasa seolah aku sangat bisa membahagiakannya. Hingga aku lupa bahwa hidup tak sekedar untuk cinta. Aku berusaha memberi apa yang diinginkannya. Hingga suatu saat cakar iblis berkedok "sang terpercaya "mengintip di balik semak persahabatanku. Dan ia menghunus, menunggu saat tepat untuk tusukkan belati khianat dan rebut sang kekasih dariku.

Mungkin aku takkan separah ini terluka andai saja dia bukan sahabatku. Ia tusuk punggungku dan peras iba kasihku. Hingga aku menjadi seorang yang tak mudah lagi percaya.
Aku ingat, bahwa tak selamanya teman bisa menjadi wajan tempat kita menumpahkan rahasia. Apalagi dia yang berkedok "sang terpercaya".

Perih itu kembali mengiris. Mengeluarkan darah. Dan kini, aku lebih memilih hidup sendiri. Daripada mati untuk disakiti. Sambil menanti izrail menjemput dan peluk ragaku dengan sayapnya.

Aku merenggang.... Sesak nafas ini. Distorsi detak jantung berdegup kencang. Menandakan hidupku tak tergantung waktu lagi.
Hingga suara itu datang....

"Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan..."*

"Sekarang bukan saatmu, kau hidup karena cinta. Dan matimu juga akan dikorbankan demi cinta. Cinta bukanlah manis yang akan kehilangan rasanya pabila bertemu dengan pahit. Tapi cinta adalah manis yang bisa dirasakan dalam kepahitan. Nikmati cintamu, reguk indahnya dalam limpahan pahala."

Aku bangkit dan sadar. Ternyata aku salah memaknai cinta. Aku terlalu mengharap padanya.
Dan bibir lirih berucap, "Nikmati hidupmu dengannya, dan biarkan aku menjemput pelangiku. Hingga ucapkan selamat tinggal pada hari."


*****
Fana tersedu, ia kembali ke peraduannya. Di samping pagoda saksi akan keindahan cinta.

*Kahlil Gibran



1 comment:

tyara said...

waaaaah, keren !
bangetbanget.