Hitam menjadi malu tatkala berjumpa
putih. Yang indah seakan bosan
menunjukkan keindahannya. Kekotoran
merajalela. Tak ada terlihat sang Jagoan
yang dulu kerap datang di akhir. Kini,
sang Jagoan pun harus tertunduk malu
meratap kesalahannya. Tak ada yang
sempurna, dan tak ada pula yang mencoba
untuk bisa berbuat sempurna. Apakah ini
yang dinamakan berjalan atas takdir ?
Atau ini hanya tingkah hipokrit yang
beraksi bagaikan bunglon di zaman yang
keras ini ?
Mereka yang dianggap panutan sudah bosan
dengan identitas mereka yang baik.
Mereka yang tak dianggap panutan lantas
berkata "Mereka yang suci saja enggan,
apalagi kami yang durjana ini"
Duhai zaman !
Kejamnya menusia pada umurnya, pada
waktunya, pada malunya.
Hanya saja, syukurlah mereka masih malu
pada Tuhan mereka.
Yang muda tersesat saat mencari jati
dirinya untuk dibawa pulang, yang tua
pun bercerai dengan nuraninya. Kini, tak
ada kesejukan harmoni indah perdamaian,
tenangnya kewajaran serta kesopanan.
Yang ada hanya terjebak dalam arus deras
mode dan stye. Dan phobia berlebihan
kalau seandainya dianggap ketinggalan mode.
Inikah yang mereka sebut kemajuan ?
Lantas analoginya antara suksesnya zaman
dulu dengan zaman sekarang...! Bukan
pada adab dan kesopanan. Atau mereka
melewatkan satu halaman dan disana
terselip kata "BERADAB ITU INDAH".
28 Mar 2008
Aku bertanya dan diriku menjawab
Aku bertanya :
Dimana bisa kutemui kedamaian ?
Diriku menjawab :
Kau akan temui kedamaian disana, dimana
engkau sudah dengan tenang menyetorkan
kedamaian yang engkau jaga.Dan kedamaian
yang kau jaga, berkata padamu:
"Terimakasih telah menjagaku, walau ku
tak tahu sebenarnya atas dasar apa kau
sudi menjagaku"
Kau temukan kedamaian dalam cintamu yang
sempurna
Aku bertanya :
Dimana kuperoleh kesempurnaan ?
Diriku menjawab :
Kau akan memperoleh kesempurnaan ketika
kau merasa sebagai jarak yang tak
tertempuh, lautan tanpa tepi, dan nyala
api tanpa padam. Tapi itu baru setengah
dari kesempurnaan. Untuk mencapai
tujuanmu, kau harus merasa sebagai bayi
yang suci dan tanpa daya. Atau sebagai
pemuda yang kehilangan cinta. Karena
sebenarnya dari sana lah kau akan dapat
menyelami, melihat dan mengerti. Dan
akhirnya kau akan mendapat bayangan
kesempurnaan.
Aku bertanya :
Dimana bisa kutemui cinta ?
Diriku menjawab :
Kau kan temukan cinta dalam hatimu. Saat
kau takkan bisa berhenti untuk
memikirkan yang tercinta. Saat kau sakit
dan lemah, kau masih bisa memikirkannya.
Saat kau senang dan ceria, kau masih
peduli padanya. Dan sisihkan sedemikian
waktumu untuknya.
Damai, kesempurnaan dan cintamu berada
dalam sebuah botol tua yang berdebu dan
berhiaskan guratan hijau lumut zaman.
Botol itu adalah harapanmu
Dimana bisa kutemui kedamaian ?
Diriku menjawab :
Kau akan temui kedamaian disana, dimana
engkau sudah dengan tenang menyetorkan
kedamaian yang engkau jaga.Dan kedamaian
yang kau jaga, berkata padamu:
"Terimakasih telah menjagaku, walau ku
tak tahu sebenarnya atas dasar apa kau
sudi menjagaku"
Kau temukan kedamaian dalam cintamu yang
sempurna
Aku bertanya :
Dimana kuperoleh kesempurnaan ?
Diriku menjawab :
Kau akan memperoleh kesempurnaan ketika
kau merasa sebagai jarak yang tak
tertempuh, lautan tanpa tepi, dan nyala
api tanpa padam. Tapi itu baru setengah
dari kesempurnaan. Untuk mencapai
tujuanmu, kau harus merasa sebagai bayi
yang suci dan tanpa daya. Atau sebagai
pemuda yang kehilangan cinta. Karena
sebenarnya dari sana lah kau akan dapat
menyelami, melihat dan mengerti. Dan
akhirnya kau akan mendapat bayangan
kesempurnaan.
Aku bertanya :
Dimana bisa kutemui cinta ?
Diriku menjawab :
Kau kan temukan cinta dalam hatimu. Saat
kau takkan bisa berhenti untuk
memikirkan yang tercinta. Saat kau sakit
dan lemah, kau masih bisa memikirkannya.
Saat kau senang dan ceria, kau masih
peduli padanya. Dan sisihkan sedemikian
waktumu untuknya.
Damai, kesempurnaan dan cintamu berada
dalam sebuah botol tua yang berdebu dan
berhiaskan guratan hijau lumut zaman.
Botol itu adalah harapanmu
Romantiskah Aku ?
Kata-kata yang indah itu seakan
membutakan hatiku
Aku sudah terlanjur dibawa larut dalam
indahnya bertutur
Tapi aku sadar yang aku terima dari
kata-katanya hanya separuh dari yang
ingin ia sampaikan
Begitu rupa ia membawaku berenang dalam
samudra kata
Menyelam menikmati indahnya samudra
perasaannya
Hanya saja, aku tetap sadar bahwa diriku
sekarang tetap terjepit antara langit
dan bumi
Ia berikan aku harumnya wewangian pujian
Ia tempatkan aku pada pigura keindahan
Ia hembuskan semilir keceriaan yang
selama ini aku dambakan
Tapi aku harus tetap hidup dan bergelut
dengan masalahku sebelum tiba waktuku
rebahkan badanku
Aku benar-benar terbius oleh perlakuan
cantiknya padaku
Tatapannya siratkan cinta yang mengalir
lembut dalam nadiku
Duhai Penguasa Cinta, sadarkan dan
bangunkan aku. Aku takut terjebak dalam
sudut dosa yang Kau murkai.
Biarkan aku mengenal cintaku dengan
sederhana.
Biarkan aku ungkapkan kasihku dengan
takdir cintaku.
Biarkan dia merasakan perasaanku dengan
hatinya.
Karena aku masih manusia, dia manusia
membutakan hatiku
Aku sudah terlanjur dibawa larut dalam
indahnya bertutur
Tapi aku sadar yang aku terima dari
kata-katanya hanya separuh dari yang
ingin ia sampaikan
Begitu rupa ia membawaku berenang dalam
samudra kata
Menyelam menikmati indahnya samudra
perasaannya
Hanya saja, aku tetap sadar bahwa diriku
sekarang tetap terjepit antara langit
dan bumi
Ia berikan aku harumnya wewangian pujian
Ia tempatkan aku pada pigura keindahan
Ia hembuskan semilir keceriaan yang
selama ini aku dambakan
Tapi aku harus tetap hidup dan bergelut
dengan masalahku sebelum tiba waktuku
rebahkan badanku
Aku benar-benar terbius oleh perlakuan
cantiknya padaku
Tatapannya siratkan cinta yang mengalir
lembut dalam nadiku
Duhai Penguasa Cinta, sadarkan dan
bangunkan aku. Aku takut terjebak dalam
sudut dosa yang Kau murkai.
Biarkan aku mengenal cintaku dengan
sederhana.
Biarkan aku ungkapkan kasihku dengan
takdir cintaku.
Biarkan dia merasakan perasaanku dengan
hatinya.
Karena aku masih manusia, dia manusia
16 Mar 2008
Roman
Jiwa ini resah
Namun kau selalu dalam hatiku
Sejauh apapun ku berlari darimu
Kau selalu ada di hatiku
Ku mencari ke sudut dunia
Mencari sisa hatimu untukku
Ku mengais iba di hamparan harapan
Tapi hanya satu, hanya darimu
Mungkin kah kau kan hadir untukku ?
Mungkin kah kau kan sudi melengkapi sayapku ?
Mungkin kah kau kan datang dan hibur lelahku ?
Namun kau selalu dalam hatiku
Sejauh apapun ku berlari darimu
Kau selalu ada di hatiku
Ku mencari ke sudut dunia
Mencari sisa hatimu untukku
Ku mengais iba di hamparan harapan
Tapi hanya satu, hanya darimu
Mungkin kah kau kan hadir untukku ?
Mungkin kah kau kan sudi melengkapi sayapku ?
Mungkin kah kau kan datang dan hibur lelahku ?
13 Mar 2008
Bumi mengadu
Duhai insan,
Kau injak aku tapi ku beri kau makanan
Ku beri kau air yang basahi kerongkonganmu
Ku beri kau udara yang kini berputar dalam dadamu
Duhai insan,
Kau ludahi aku tapi engkau ku peluk erat ketika akhir hayatmu
Ku hangatkan engkau dengan selimut ozonku
Ku beri kau hiburan dengan pelangi indahku
Duhai insan,
Kau lukai aku dengan eksploitasimu
Kau telanjangi aku, tapi aku tetap tersenyum padamu
Kau hancurkan jasadku, tapi kubiarkan engkau berjalan di atasku
Semua karena karunia-Nya
Semua yang Dia titipkan padaku
Dan kasih-Nya padamu
Kalau bukan karena itu,
Niscaya ku binasakan engkau atas izin-Nya
Kau injak aku tapi ku beri kau makanan
Ku beri kau air yang basahi kerongkonganmu
Ku beri kau udara yang kini berputar dalam dadamu
Duhai insan,
Kau ludahi aku tapi engkau ku peluk erat ketika akhir hayatmu
Ku hangatkan engkau dengan selimut ozonku
Ku beri kau hiburan dengan pelangi indahku
Duhai insan,
Kau lukai aku dengan eksploitasimu
Kau telanjangi aku, tapi aku tetap tersenyum padamu
Kau hancurkan jasadku, tapi kubiarkan engkau berjalan di atasku
Semua karena karunia-Nya
Semua yang Dia titipkan padaku
Dan kasih-Nya padamu
Kalau bukan karena itu,
Niscaya ku binasakan engkau atas izin-Nya
12 Mar 2008
Seperti yang kau minta
Maafkan aku tak bisa memahami maksud amarahmu
Membaca dan mengerti isi hatimu
Ampuni aku yg telah memasuki kehidupan kalian
Mencoba mencari celah dalam hatimu
Aku tahu 'ku takkan bisa
Menjadi s'perti yang engkau minta
Namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta
Ampuni aku yang telah memasuki kehidupan kalian
Mencoba mencari celah dlm hatimu
Aku tahu 'ku takkan bisa
Menjadi yang s'perti engkau minta
Namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
Aku tahu dia yang bisa
Menjadi s'perti yang engkau minta
Namun selama aku bernyawa aku kan mencoba
Menjadi s'perti yang kau minta
Aku tahu 'ku takkan bisa
Menjadi s'perti yg engkau minta
Namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
Aku tahu dia yg bisa
Menjadi seperti yang engkau minta
Namun selama aku bernyawa aku kan mencoba
Menjadi s'perti yang kau minta
Seperti yg kau minta
Aku kan mencoba menjadi s'perti yg kau minta
Hiks...hiks... dalem euy...
Membaca dan mengerti isi hatimu
Ampuni aku yg telah memasuki kehidupan kalian
Mencoba mencari celah dalam hatimu
Aku tahu 'ku takkan bisa
Menjadi s'perti yang engkau minta
Namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta
Ampuni aku yang telah memasuki kehidupan kalian
Mencoba mencari celah dlm hatimu
Aku tahu 'ku takkan bisa
Menjadi yang s'perti engkau minta
Namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
Aku tahu dia yang bisa
Menjadi s'perti yang engkau minta
Namun selama aku bernyawa aku kan mencoba
Menjadi s'perti yang kau minta
Aku tahu 'ku takkan bisa
Menjadi s'perti yg engkau minta
Namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
Aku tahu dia yg bisa
Menjadi seperti yang engkau minta
Namun selama aku bernyawa aku kan mencoba
Menjadi s'perti yang kau minta
Seperti yg kau minta
Aku kan mencoba menjadi s'perti yg kau minta
Hiks...hiks... dalem euy...
11 Mar 2008
Fana, 2nd
Fana, begitu ia menyebut dirinya. Berdiri di ambang pintu harapnya, menantikan reda badai hatinya. Ia menyaksikan gulungan perasaan yang mengakibatkan pusaran angin puting beliung yang hancurkan asanya. Ia juga menyaksikan kilatan petir dan guruh gemuruh guntur amarahnya menyambar-nyambar kubah-kubah harapan dan menara rindu yang dibangunnya dalam sebuah rangkaian cinta.
Hingga akhirnya mentari jiwanya mengintip dari balik awan suram yang merentangkan jubah kegelapan hatinya. Mentari itu dengan cahayanya, cukup membantu lentera optimisnya untuk menerangi gubuk hidupnya yang gelap dan terus digoyangkan oleh angin kencang yang bernama pesimis.
Fana, begitu ia menyebut dirinya. Berkata,"Harapku, bagaikan gelombang ombak yang inginkan bersua dengan daratan, tapi apa daya. Ia memeluk karang dan kembali ke laut menggulung seribu asa. Begitulah yang seterusnya dilakukannya."
Lalu ia beranjak, dan pergi bersama iringan simfoni embun cinta yang tak mungkin bisa memuaskan dahaganya.
(rhapsody)
Hingga akhirnya mentari jiwanya mengintip dari balik awan suram yang merentangkan jubah kegelapan hatinya. Mentari itu dengan cahayanya, cukup membantu lentera optimisnya untuk menerangi gubuk hidupnya yang gelap dan terus digoyangkan oleh angin kencang yang bernama pesimis.
Kini gelap telah hilang, berganti terang yang dihiasi senyuman menis pelangi hiburan. Segarkan alam dan hatinya yang tadinya diguyur hujan kesedihan.
Fana, begitu ia menyebut dirinya. Berkata,"Harapku, bagaikan gelombang ombak yang inginkan bersua dengan daratan, tapi apa daya. Ia memeluk karang dan kembali ke laut menggulung seribu asa. Begitulah yang seterusnya dilakukannya."
Lalu ia beranjak, dan pergi bersama iringan simfoni embun cinta yang tak mungkin bisa memuaskan dahaganya.
(rhapsody)
10 Mar 2008
Rinduku
Malam ini aku hanya ditemani oleh semilir nafas bulan
Lantunan perih hati yang haus seakan menggoncang jiwaku
Aku termakan hasrat rindu ini
Rindu yang membuncah goyangkan sendi iman
Aku meraba apa yang tersirat di balik jeruji rindu
Tapi yang kudapat hanya lebih dari kata 'tuk kuungkap
Aku tak bisa berbuat apapun
Hanya bisa terdiam, renungi arti hadirku
Dan bayangkan sosok yang kurindukan dalam hati ini
Walau aku tahu dan yakin
Ini takkan bisa membawa hati ini kepada kepuasan
Sang perindu
Biasa dengan keramaian yang membuatnya melamun
Di bayangan matanya hanya secercah harapan akan pertemuan dengan yang dia rindukan
Walau ia tahu, bahwa mungkin saja selamanya ia akan terperangkap di penjara rindu
Lantunan perih hati yang haus seakan menggoncang jiwaku
Aku termakan hasrat rindu ini
Rindu yang membuncah goyangkan sendi iman
Aku meraba apa yang tersirat di balik jeruji rindu
Tapi yang kudapat hanya lebih dari kata 'tuk kuungkap
Aku tak bisa berbuat apapun
Hanya bisa terdiam, renungi arti hadirku
Dan bayangkan sosok yang kurindukan dalam hati ini
Walau aku tahu dan yakin
Ini takkan bisa membawa hati ini kepada kepuasan
Sang perindu
Biasa dengan keramaian yang membuatnya melamun
Di bayangan matanya hanya secercah harapan akan pertemuan dengan yang dia rindukan
Walau ia tahu, bahwa mungkin saja selamanya ia akan terperangkap di penjara rindu
Pesona
Pesona, akan kugapai engkau
Aku ibarat rentannya gulita yang merindukan pelita
Aku bagaikan anak kecil yang mencoba menghitung bintang dan menggapainya
Pesonamu luluhkan hasrat, pacu denyut nadiku berlomba dengan waktu.
Membuat mimpiku meluap dan menerjang hingga memeluk karang ketidakmampuanku
Aku lemah saat ini dan akan selalu lemah bersimpuh di hadapan tegapnya pesonamu yang meraroma
Duhai engkau sang pujaan...
Tegarnya engkau di sana menyebar wabah cinta yang akibatkan banyak jiwa menggelepar haus akannya
Dan aku disini berselimut harapan, menggigil karena demam rindu dan angan tinggi
Tapi ku tahu, selamanya aku takkan bisa untuk menggapaimu yang jauh di sana dan aku di sini.
Biarkanlah, kekagumanku ini tetap mengkristal. Dan akhirnya akan pecah berkeping sejalan waktu.
Aku ibarat rentannya gulita yang merindukan pelita
Aku bagaikan anak kecil yang mencoba menghitung bintang dan menggapainya
Pesonamu luluhkan hasrat, pacu denyut nadiku berlomba dengan waktu.
Membuat mimpiku meluap dan menerjang hingga memeluk karang ketidakmampuanku
Aku lemah saat ini dan akan selalu lemah bersimpuh di hadapan tegapnya pesonamu yang meraroma
Duhai engkau sang pujaan...
Tegarnya engkau di sana menyebar wabah cinta yang akibatkan banyak jiwa menggelepar haus akannya
Dan aku disini berselimut harapan, menggigil karena demam rindu dan angan tinggi
Tapi ku tahu, selamanya aku takkan bisa untuk menggapaimu yang jauh di sana dan aku di sini.
Biarkanlah, kekagumanku ini tetap mengkristal. Dan akhirnya akan pecah berkeping sejalan waktu.
Salam
Salam padamu wahai siang
Yang cahayanya menaklukkan kegelapan bumi
Salam padamu wahai malam
Yang kegelapannya menyingkapkan cahaya dari cakrawala
Salam untukmu duhai tahun-tahun
Yang menyingkapkan apa dari yang telah disembunyikan zaman
kepada abad yang telah memperbaiki kesalahan kurun
Salam wahai waktu yang membawaku maju menuju kematian yang sempurna
Salam untukmu, wahai hati yang tenang dalam kedamaian, meski tenggelam di air mata menggenang
Damai dan salam untukmu jiwa, yang membimbing roda-roda kehidupan dan kematian
sambil bersembunyi dariku di balik tirai selubung matahari
(rhapsody)
Yang cahayanya menaklukkan kegelapan bumi
Salam padamu wahai malam
Yang kegelapannya menyingkapkan cahaya dari cakrawala
Salam untukmu duhai tahun-tahun
Yang menyingkapkan apa dari yang telah disembunyikan zaman
kepada abad yang telah memperbaiki kesalahan kurun
Salam wahai waktu yang membawaku maju menuju kematian yang sempurna
Salam untukmu, wahai hati yang tenang dalam kedamaian, meski tenggelam di air mata menggenang
Damai dan salam untukmu jiwa, yang membimbing roda-roda kehidupan dan kematian
sambil bersembunyi dariku di balik tirai selubung matahari
(rhapsody)
9 Mar 2008
My Wise
Mereka yang sempit hatinya dan pikirannya cenderung mencintai apa yang terbatas pula dalam kehidupan, dan yang lemah wawasan, tidak dapat melihat lebih dari satu cubit ke depan pada jalan yang ditempuhnya. Tidak pula lebih dari satu cubit dari tembok tempat ia menyandarkan bahu
Besar Hati
Ungkapku tertahan
Kesahku terpendam
Rinduku tertawan
Ku tak kuasa melawan
Aku hanyut terbawa rasa
Kucoba lepas dan aku tak bisa
Aku kembali mencoba merajut asa
Asa yang dulu sering buat ku terluka
Kucoba reguk racun, sekedar lupakan masa lalu
Tapi racun itu membuatku sadar dan sulit untuk kembali melamun
Aku akui, sulit bagiku untuk tak merisaukan apa yang selama ini aku takutkan
Tapi, aku terlanjur jatuh dan bergelimang... Aku dibuat berandai
Kucari jalan untuk sekedar berkejap, kucoba celah untuk sekedar berkedip
Kukejar harapan untuk sekedar menarik kembali nafasku yang baru
Yang benar-benar akan membuatku benar-benar segar
Tapi kutakkan pernah berlari, kucoba untuk bisa menikmati
Karena, kulelah menghadapi masalah ini dengan menghindari
Biar kurasakan, kujalani dan kuambil pelajaran
DENGAN BERBESAR HATI
Kesahku terpendam
Rinduku tertawan
Ku tak kuasa melawan
Aku hanyut terbawa rasa
Kucoba lepas dan aku tak bisa
Aku kembali mencoba merajut asa
Asa yang dulu sering buat ku terluka
Kucoba reguk racun, sekedar lupakan masa lalu
Tapi racun itu membuatku sadar dan sulit untuk kembali melamun
Aku akui, sulit bagiku untuk tak merisaukan apa yang selama ini aku takutkan
Tapi, aku terlanjur jatuh dan bergelimang... Aku dibuat berandai
Kucari jalan untuk sekedar berkejap, kucoba celah untuk sekedar berkedip
Kukejar harapan untuk sekedar menarik kembali nafasku yang baru
Yang benar-benar akan membuatku benar-benar segar
Tapi kutakkan pernah berlari, kucoba untuk bisa menikmati
Karena, kulelah menghadapi masalah ini dengan menghindari
Biar kurasakan, kujalani dan kuambil pelajaran
DENGAN BERBESAR HATI
8 Mar 2008
Mencari Tafsir Versi Al-Quran
Adian Husaini
Acara Muktamar Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang berlangsung 11-13 Februari 2008 akhirnya diganti namanya menjadi ”Kolokium Nasional Pemikiran Islam”. Sejumlah pembicara tidak bisa hadir. Salah satu pemakalah baru yang dimasukkan namanya adalah Dr. Phil. Nur Kholish Setiawan, dosen mata kuliah Kajian Al-Quran dan Pemikiran Hukum Islam di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Murid kesayangan Nasr Hamid Abu Zayd ini menggantikan posisi Prof. Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya, dalam sesi pembahasan ”Manhaj Baru Muhammadiyah: Mengembangkan Metode Tafsir”. Pada sesi ini tampil juga pembicara Ust. Muammal Hamidy, Lc. dan Dr. Saad Ibrahim.
Muammal Hamidy yang juga pimpinan Ma’had Aly Persis Bangil, dalam makalahnya, mengungkap peringatan Rasulullah saw, bahwa ”Siapa yang menafsiri Al-Quran dengan ra’yunya, maka siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.” Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur ini pun menyitir hadits lain: ”Akan datang suatu masa menimpa umatku, yaitu banyak orang yang ahli baca Al-Quran tetapi sedikit sekali yang memahami hukum, dicabutnya ilmu dan banyak kekacauan. Menyusul akan datang suatu masa, ada sejumlah orang yang membaca Al-Quran tetapi Al-Quran itu tidak melampaui tenggorokannya. Kemudian menyusul satu masa ada orang musyrik membantah orang mukmin tentang Allah (untuk mempertahankan kesyirikannya) dengan bahasa yang sama (HR Thabrani).
Ustadz Muammal Hamidy kemudian menyimpulkan: (1) Al-Quran jangan ditafsiri sesuai selera, (2) Pemahaman terhadap Al-Quran hendaknya didasari dengan ilmu, (3) Ilmu untuk memahami hukum-hukum Al-Quran harus dikuasai dengan baik, (4) Membaca Al-Quran minimal hendaknya disertai dengan pengertiannya, dan (5) Ummat Islam harus mewaspadai orang-orang yang mempergunakan dalil Al-Quran dan Sunnah untuk kepentingan yang tidak Islami.
Peringatan tokoh senior di Muhammadiyah Jawa Timur ini kiranya perlu kita perhatikan. Sebab, umat Islam di Indonesia saat ini banyak dijejali dengan beragam model penafsiran yang ditawarkan oleh sebagian kalangan cendekiawan yang isinya justru mengacak-acak Al-Quran, seperti penafsiran yang menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Beberapa waktu lalu, kita membahas disertasi doktor Tafsir Al-Quran dari UIN Jakarta yang secara terang-terangan merombak dasar-dasar keimanan Islam dan menafsirkan Al-Quran sesuai seleranya sendiri.
Dengan mengutip ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran, doktor Tafsir lulusan UIN Jakarta itu menyimpulkan: “Dengan demikian, bagi umat Islam sendiri, merayakan natal sesungguhnya merayakan hari kelahiran seorang utusan Tuhan yang harus diimani, Isa al-Masih, yang diduga jatuh pada tanggal 25 Desember. Sebagai implikasi dari keberimanan itu, semestinya umat Islam juga diperbolehkan untuk merayakan hari kelahiran Isa dan kelahiran para nabi lain sebelum Muhammad SAW.” (hal. 209).
Pada bagian lain, dia membuat definisi tentang “Ahli Kitab”, yaitu: “Intinya siapa saja yang berpegangan kepada sebuah kitab suci yang mengandung nilai-nilai ketuhanan dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur yang dibawa oleh para nabi, maka mereka itu adalah Ahli Kitab.” (hal. 216). Sementara, pada bagian lain dia tulis: “Dilihat dari sisi ini, maka ahl kitab merupakan kelompok yang memang menganut monoteisme (tawhid).” (hal. 219-220).
Dengan definisi “Ahlul Kitab” versi Doktor Tafsir tersebut, maka disimpulkan, bahwa semua agama yang mempunyai kitab suci adalah agama tauhid. Inilah salah satu contoh tafsir aliran “ngawuriyah” – alias tafsir asal-asalan -- yang dibangga-banggakan sebagian orang sebagai tafsir yang “toleran”, “progresif”, “modern”, dan “maju”. Padahal, sudah banyak kitab Tafsir, Fikih, dan disertasi doktor yang dengan sangat serius dan komprehensif membahas masalah Ahlul Kitab ini. Tetapi, semua ini tidak dirujuk oleh penulis disertasi tersebut. Ia lebih suka membuat definisi sendiri berdasarkan hawa nafsunya. Allah SWT sudah mengingatkan dalam Al-Quran:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? “ (QS 45:23).
Masalah penafsiran Al-Quran adalah masalah yang sangat mendasar dalam Islam. Sebab, melalui ilmu inilah, umat Islam memahami firman Allah SWT. Karena itu, dalam Mukaddimah Tafsirnya, Ibn Katsir memaparkan, bagaimana hati-hatinya para sahabat Nabi saw dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Jika mereka tidak paham terhadap makna suatu ayat, maka mereka bertanya kepada sahabat lain yang dipandang lebih ahli dalam masalah tersebut. Ibn Katsir menasehatkan, jika tidak ditemukan penafsiran Al-Quran dalam Al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat sahabat, maka carilah penafsiran itu dalam pendapat para tabi’in.
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang Al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”
Sikap hati-hati inilah yang mendorong lahirnya para ulama Tafsir yang serius. Para mufassir Al-Quran harus sangat berhati-hati, sebab tanggung jawab mereka di hadapan Allah SWT sangatlah berat. Bagi yang bukan mufassir pun wajib memperhatikan masalah ini, dan berhati-hati dalam memilih tafsir. Jangan sampai memilih tafsir Al-Quran yang dibuat sesuai dengan selera dan hawa nafsu.
Sebagai satu organisasi Islam yang besar, tentu Muhammadiyah wajib memiliki banyak Ahli Tafsir Al-Quran. Kita menyambut baik setiap upaya ijtihad yang dilakukan oleh para ulama atau pemikir Muslim mana pun. Namun, kita juga perlu berhati-hati dalam soal penafsiran. Tidak setiap ”kilasan pemikiran” bisa dikatakan ijtihad. Setiap lontaran pemikiran yang baru tentang Tafsir Al-Quran, sebaiknya dikaji dengan seksama terlebih dahulu secara terbatas di kalangan pakar Tafsir.
Di dalam Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Unmuh Malang tersebut umat Islam disuguhi ide Tafsir Baru oleh Dr. Nur Kholish Setiawan. Ia membawakan makalah berjudul ”Tafsir Sebagai Resepsi Al-Qur’an: Ke Arah Pemahaman Kitab Suci dalam Konteks Keindonesiaan”. Dalam makalahnya, Nur Kholish mengkritik dominasi nalar Arab dalam bangunan tafsir sebagai metode memahami Al-Quran. Tafsir Al-Quran, menurutnya, masih terbuka untuk dikembangkan dengan memanfaatkan khazanah keilmuan kemanusiaan (humaniora) yang bersifat teritorial. Dalam beberapa karya kesarjanaan Nusantara, pemikir Indonesia telah banyak melakukan enkulturasi budaya lokal dalam memahami Al-Quran. Tafsir al-Huda, misalnya, sebuah karya tafsir berbahasa Jawa menunjukkan kentalnya warna budaya Jawa dalam proses pemahaman ayat-ayat Al-Quran.
Contoh lain yang dipaparkan Nur Kholish adalah penolakan Mangkunegara IV dari Kasunanan Surakarta terhadap Arabisasi fikih. Baginya, fikih (pekih) tidak seharusnya dipraktikkan secara utuh seperti yang tertulis dalam literatur Arab, melainkan disesuaikan dengan tingkat kelayakan Jawa. ”Dengan kata lain, ada nilai-nilai luhur Jawa yang tidak boleh begitu saja ditinggalkan.”
Sayangnya, kita tidak mendapat penjelasan, bagaimana contoh budaya Jawa yang luhur dan tidak boleh ditinggalkan, sehingga harus menjadi dasar pertimbangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Kita tunggu saja upaya dosen Al-Quran dari UIN Yogya itu untuk menerbitkan Kitab Tafsir atau Fikih yang mengakomodasi nilai-nilai luhur budaya Jawa. Setelah terbit, baru kita bisa menilainya.
Sebenarnya, selama ini umat Islam sudah paham, bahwa Muslim Jawa boleh shalat dengan kain saung dan blangkon, tetapi tidak boleh shalat dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak ada orang Muslim Jawa berpikir, bahwa azan bisa dilantunkan dalam bahasa Jawa. Kita paham, mana yang termasuk ajaran ad-Dinul Islam, dan mana aspek budaya yang boleh diambil.
Para penyebar Islam di Jawa dulu pun berusaha mengubah tradisi yang tidak sesuai dengan Islam dengan tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, diubahnya tradisi ”sesajen” menjadi ”selametan”. Proses perubahan tradisi tentu memakan waktu yang panjang, sehingga kadang-kadang ada yang masih belum berjalan dengan sempurna. Islam tidak menolak adat pakaian suatu daerah yang memang sudah menutup aurat. Tetapi, Islam tentu akan berusaha mengubah tradisi ”koteka” atau ”telanjang” yang ada di suatu daerah tertentu. Kaum Muslim yang ”normal” tentu akan menyatakan, bahwa budaya makan babi adalah tidak sesuai dengan Islam.
Jadi, bukan tradisi suatu daerah yang jadi pedoman. Tapi, Islamlah yang harusnya menjadi pedoman dalam menilai sesuatu. Kaum Liberal harusnya membuka wawasannya, bahwa Islam juga hadir di tanah Arab untuk mengubah sejumlah tradisi jahiliyah. Misalnya, tradisi perkawinan jahiliyah, tradisi penindasan wanita, tradisi telanjang, tradisi mabuk-mabukan, dan sebagainya. Meskipun diturunkan di negeri yang tandus, syariat Islam justru mengandung banyak ajaran yang mewajibkan umatnya menggunakan air untuk bersuci. Sebab, Islam memang diturunkan untuk seluruh umat manusia tanpa memandang budaya. Karena itu, tidak ada istilah ”Islam Jawa”, ”Islam Arab”, ”Islam Cina”, dan sebagainya.
Dalam upaya untuk menghadirkan hukum Islam bercorak Indonesia, Nur Kholish Setiawan mengajak untuk mengkritisi sejumlah metode istinbath hukum dalam konsep ushul fikih klasik. Misalnya, konsep ijma’. Katanya, ”Ketetapan hukum yang dilahirkan melalui proses istintabh tidak mungkin memiliki corak keindonesiaan, apabila tidak dibarengi dengan rumusan kritis metodologisnya.”
Di sejumlah IAIN/UIN, metode penafsiran Al-Quran “berbasis budaya” ini tampaknya mulai digencarkan. Misalnya, dalam soal mahar dalam perkawinan. Seorang dosen Fakultas Syariah IAIN Semarang, Rokhmadi, M.Ag., ditanya tentang kasus perkawinan seorang laki-laki dengan wanita Minang, yang menurut si penanya, maharnya justru diberikan oleh pihak wanita, bukan pihak laki-laki. Inilah jawabab dosen itu:
“Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak perempuan karena posisinya di atas laki-laki dalam bersikap dan martabat keluarga. Maka saudara MH Tidak perlu risau, susah, dan gelisah. Justru saudara beruntung tidak dibebani Mahar. Terimalah, sebab ketentuan al-Quran (al-Nisa ayat 4) tidak bersifat mutlak karena semata-mata dipengaruhi budaya di mana Islam diturunkan. (Lihat, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang, Edisi 28 Th.XIII/2005).
Kita bisa bayangkan, apa yang terjadi dengan Islam, jika setiap suku bangsa di Indonesia membuat Tafsir Al-Quran model dosen syariat seperti ini? Nanti ada tafsir berbasis budaya Jawa, Tafsir Betawi, Tafsir Sunda, Tafsir Minang, Tafsir Batak, dan sebagainya.
Dalam soal hukum pidana ala Indonesia, misalnya, Nur Kholish mengajukan proposal dari Mohammad Syahrur tentang ”Teori Batas”. Dalam kasus pencurian, ketentuan hukum potong tangan dalam QS 5:38, dipandang sebagai ”batas maksimal” (al-had al-a’la). Menurut Syahrur, hukum potong tangan bagi pencuri adalah ”hukuman maksimal”. Jadi, tidak setiap pencurian harus dikenai hukum potong tangan. Dan menurut Nur Kholish, masih ada ruang untuk berijtihad menentukan jenis hukuman bagi pencuri yang di bawah hukum potong tangan.
Teori batas lain dari Syahrur yang diajukan Nur Kholish adalah batas dalam soal waris. Pola 2:1 bagi laki-laki dan wanita, menurut Syahrur, adalah formula batas atas dan batas bawah. Jadi, menurut formula itu, batas atas bagi laki-laki adalah 66,6 persen dan batas bawah bagi wanita adalah 33,33 persen. Jadi, bisa dilakukan ijtihad baru, seorang laki-laki mendapatkan warisan 60 persen dan seorang wanita mendapatkan 40 persen. Aspek lokalitas turut memberikan warna dalam pergeseran 66,6 banding 33,3 persen.
Itulah yang dikatakan sebagai tawaran ijtihad atau tafsir baru yang lebih menghargai unsur lokalitas atau budaya lokal. Pendapat Syahrur soal ”Teori Batas” itu sudah sangat banyak menuai kritik di negerinya sendiri, Suria. Teori ini memang ”aneh”. Coba bayangkan, bolehkah seorang berijtihad, bahwa yang termasuk hukuman yang berada di bawah derajat hukum ”potong tangan” adalah, misalnya, ”potong rambut” atau ”potong jari” atau ”potong telinga?”
Kekacauan Teori Batas ini bisa dilihat dalam kasus pakaian laki-laki. Syahrur berpendapat bahwa batas bawah (batas minimal) aurat laki-laki yang harus ditutup hanyalah kemaluannya. ”Karena keadaan cuaca berbeda-beda pada tiap penduduk bumi dari panas yang terik sampai dingin yang menggigit. Maka batas minimal pakaian yang diberikan bagi laki-laki adalah menutup kemaluan.” Karena itu, kata Syahrur, laki-laki boleh berenang hanya dengan mengenakan celana renang saja. Yang dilarang adalah melihat laki-laki dalam keadaan telanjang bulat. (Lihat, Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-sturan Pokok, (Terj.) (Yogya: Jendela, 2002), hal. 71.
Kita bisa bayangkan, bagaimana jika dosen tafsir di UIN Yogya menerapkan teori Syahrur dalam soal pakaian laki-laki ini?
Pada 6 September 2004, situs JIL pernah menurunkan sebuah artikel yang membahas tentang Teori Batas Syahrur, ditulis oleh seorang dosen di Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ditulis di situ, bahwa dalam soal pakaian wanita (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah.
Kita bisa melihat, betapa absurdnya teori semacam ini. Dengan ”Teori Batas” ala Syahrur ini, maka boleh saja wanita mengenakan bikini di depan umum, yang penting dia sudah menutupi batas minimal, yakni kemaluan, payudara, dan tidak telanjang bulat.
Dengan model penafsiran yang sangat ”fleksibel” seperti itu, kita paham, mengapa sebagian kalangan sangat menyukai metode tafsir al-Quran yang disebut ”Teori Batas” ala Syahrur ini. Meskipun model tafsir al-Quran semacam ini yang ditawarkan dalam acara Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Unmuh Malang, kita berharap, Majelis Tarjih Muhammadiyah, tidak tergoda untuk memungutnya.
Kita tidak bosan-bosannya mengimbau para intelektual, meskipun sudah bergelar doktor atau profesor, untuk bersikap tawadhu’ dan tahu diri. Jika maqamnya memang ”muqallid” jadilah ”muqallid” yang baik. Tidak patut memposisikan diri sebagai mujtahid, yang dengan gagahnya memaki-maki Imam Syafii, tetapi ujung-ujungnya menjadi pemuja Nasr Hamid Abu Zaid. [Depok, 22 Februari 2008/www.hidayatullah.com]
Acara Muktamar Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang berlangsung 11-13 Februari 2008 akhirnya diganti namanya menjadi ”Kolokium Nasional Pemikiran Islam”. Sejumlah pembicara tidak bisa hadir. Salah satu pemakalah baru yang dimasukkan namanya adalah Dr. Phil. Nur Kholish Setiawan, dosen mata kuliah Kajian Al-Quran dan Pemikiran Hukum Islam di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Murid kesayangan Nasr Hamid Abu Zayd ini menggantikan posisi Prof. Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya, dalam sesi pembahasan ”Manhaj Baru Muhammadiyah: Mengembangkan Metode Tafsir”. Pada sesi ini tampil juga pembicara Ust. Muammal Hamidy, Lc. dan Dr. Saad Ibrahim.
Muammal Hamidy yang juga pimpinan Ma’had Aly Persis Bangil, dalam makalahnya, mengungkap peringatan Rasulullah saw, bahwa ”Siapa yang menafsiri Al-Quran dengan ra’yunya, maka siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.” Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur ini pun menyitir hadits lain: ”Akan datang suatu masa menimpa umatku, yaitu banyak orang yang ahli baca Al-Quran tetapi sedikit sekali yang memahami hukum, dicabutnya ilmu dan banyak kekacauan. Menyusul akan datang suatu masa, ada sejumlah orang yang membaca Al-Quran tetapi Al-Quran itu tidak melampaui tenggorokannya. Kemudian menyusul satu masa ada orang musyrik membantah orang mukmin tentang Allah (untuk mempertahankan kesyirikannya) dengan bahasa yang sama (HR Thabrani).
Ustadz Muammal Hamidy kemudian menyimpulkan: (1) Al-Quran jangan ditafsiri sesuai selera, (2) Pemahaman terhadap Al-Quran hendaknya didasari dengan ilmu, (3) Ilmu untuk memahami hukum-hukum Al-Quran harus dikuasai dengan baik, (4) Membaca Al-Quran minimal hendaknya disertai dengan pengertiannya, dan (5) Ummat Islam harus mewaspadai orang-orang yang mempergunakan dalil Al-Quran dan Sunnah untuk kepentingan yang tidak Islami.
Peringatan tokoh senior di Muhammadiyah Jawa Timur ini kiranya perlu kita perhatikan. Sebab, umat Islam di Indonesia saat ini banyak dijejali dengan beragam model penafsiran yang ditawarkan oleh sebagian kalangan cendekiawan yang isinya justru mengacak-acak Al-Quran, seperti penafsiran yang menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Beberapa waktu lalu, kita membahas disertasi doktor Tafsir Al-Quran dari UIN Jakarta yang secara terang-terangan merombak dasar-dasar keimanan Islam dan menafsirkan Al-Quran sesuai seleranya sendiri.
Dengan mengutip ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran, doktor Tafsir lulusan UIN Jakarta itu menyimpulkan: “Dengan demikian, bagi umat Islam sendiri, merayakan natal sesungguhnya merayakan hari kelahiran seorang utusan Tuhan yang harus diimani, Isa al-Masih, yang diduga jatuh pada tanggal 25 Desember. Sebagai implikasi dari keberimanan itu, semestinya umat Islam juga diperbolehkan untuk merayakan hari kelahiran Isa dan kelahiran para nabi lain sebelum Muhammad SAW.” (hal. 209).
Pada bagian lain, dia membuat definisi tentang “Ahli Kitab”, yaitu: “Intinya siapa saja yang berpegangan kepada sebuah kitab suci yang mengandung nilai-nilai ketuhanan dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur yang dibawa oleh para nabi, maka mereka itu adalah Ahli Kitab.” (hal. 216). Sementara, pada bagian lain dia tulis: “Dilihat dari sisi ini, maka ahl kitab merupakan kelompok yang memang menganut monoteisme (tawhid).” (hal. 219-220).
Dengan definisi “Ahlul Kitab” versi Doktor Tafsir tersebut, maka disimpulkan, bahwa semua agama yang mempunyai kitab suci adalah agama tauhid. Inilah salah satu contoh tafsir aliran “ngawuriyah” – alias tafsir asal-asalan -- yang dibangga-banggakan sebagian orang sebagai tafsir yang “toleran”, “progresif”, “modern”, dan “maju”. Padahal, sudah banyak kitab Tafsir, Fikih, dan disertasi doktor yang dengan sangat serius dan komprehensif membahas masalah Ahlul Kitab ini. Tetapi, semua ini tidak dirujuk oleh penulis disertasi tersebut. Ia lebih suka membuat definisi sendiri berdasarkan hawa nafsunya. Allah SWT sudah mengingatkan dalam Al-Quran:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? “ (QS 45:23).
Masalah penafsiran Al-Quran adalah masalah yang sangat mendasar dalam Islam. Sebab, melalui ilmu inilah, umat Islam memahami firman Allah SWT. Karena itu, dalam Mukaddimah Tafsirnya, Ibn Katsir memaparkan, bagaimana hati-hatinya para sahabat Nabi saw dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Jika mereka tidak paham terhadap makna suatu ayat, maka mereka bertanya kepada sahabat lain yang dipandang lebih ahli dalam masalah tersebut. Ibn Katsir menasehatkan, jika tidak ditemukan penafsiran Al-Quran dalam Al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat sahabat, maka carilah penafsiran itu dalam pendapat para tabi’in.
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang Al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”
Sikap hati-hati inilah yang mendorong lahirnya para ulama Tafsir yang serius. Para mufassir Al-Quran harus sangat berhati-hati, sebab tanggung jawab mereka di hadapan Allah SWT sangatlah berat. Bagi yang bukan mufassir pun wajib memperhatikan masalah ini, dan berhati-hati dalam memilih tafsir. Jangan sampai memilih tafsir Al-Quran yang dibuat sesuai dengan selera dan hawa nafsu.
Sebagai satu organisasi Islam yang besar, tentu Muhammadiyah wajib memiliki banyak Ahli Tafsir Al-Quran. Kita menyambut baik setiap upaya ijtihad yang dilakukan oleh para ulama atau pemikir Muslim mana pun. Namun, kita juga perlu berhati-hati dalam soal penafsiran. Tidak setiap ”kilasan pemikiran” bisa dikatakan ijtihad. Setiap lontaran pemikiran yang baru tentang Tafsir Al-Quran, sebaiknya dikaji dengan seksama terlebih dahulu secara terbatas di kalangan pakar Tafsir.
Di dalam Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Unmuh Malang tersebut umat Islam disuguhi ide Tafsir Baru oleh Dr. Nur Kholish Setiawan. Ia membawakan makalah berjudul ”Tafsir Sebagai Resepsi Al-Qur’an: Ke Arah Pemahaman Kitab Suci dalam Konteks Keindonesiaan”. Dalam makalahnya, Nur Kholish mengkritik dominasi nalar Arab dalam bangunan tafsir sebagai metode memahami Al-Quran. Tafsir Al-Quran, menurutnya, masih terbuka untuk dikembangkan dengan memanfaatkan khazanah keilmuan kemanusiaan (humaniora) yang bersifat teritorial. Dalam beberapa karya kesarjanaan Nusantara, pemikir Indonesia telah banyak melakukan enkulturasi budaya lokal dalam memahami Al-Quran. Tafsir al-Huda, misalnya, sebuah karya tafsir berbahasa Jawa menunjukkan kentalnya warna budaya Jawa dalam proses pemahaman ayat-ayat Al-Quran.
Contoh lain yang dipaparkan Nur Kholish adalah penolakan Mangkunegara IV dari Kasunanan Surakarta terhadap Arabisasi fikih. Baginya, fikih (pekih) tidak seharusnya dipraktikkan secara utuh seperti yang tertulis dalam literatur Arab, melainkan disesuaikan dengan tingkat kelayakan Jawa. ”Dengan kata lain, ada nilai-nilai luhur Jawa yang tidak boleh begitu saja ditinggalkan.”
Sayangnya, kita tidak mendapat penjelasan, bagaimana contoh budaya Jawa yang luhur dan tidak boleh ditinggalkan, sehingga harus menjadi dasar pertimbangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Kita tunggu saja upaya dosen Al-Quran dari UIN Yogya itu untuk menerbitkan Kitab Tafsir atau Fikih yang mengakomodasi nilai-nilai luhur budaya Jawa. Setelah terbit, baru kita bisa menilainya.
Sebenarnya, selama ini umat Islam sudah paham, bahwa Muslim Jawa boleh shalat dengan kain saung dan blangkon, tetapi tidak boleh shalat dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak ada orang Muslim Jawa berpikir, bahwa azan bisa dilantunkan dalam bahasa Jawa. Kita paham, mana yang termasuk ajaran ad-Dinul Islam, dan mana aspek budaya yang boleh diambil.
Para penyebar Islam di Jawa dulu pun berusaha mengubah tradisi yang tidak sesuai dengan Islam dengan tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, diubahnya tradisi ”sesajen” menjadi ”selametan”. Proses perubahan tradisi tentu memakan waktu yang panjang, sehingga kadang-kadang ada yang masih belum berjalan dengan sempurna. Islam tidak menolak adat pakaian suatu daerah yang memang sudah menutup aurat. Tetapi, Islam tentu akan berusaha mengubah tradisi ”koteka” atau ”telanjang” yang ada di suatu daerah tertentu. Kaum Muslim yang ”normal” tentu akan menyatakan, bahwa budaya makan babi adalah tidak sesuai dengan Islam.
Jadi, bukan tradisi suatu daerah yang jadi pedoman. Tapi, Islamlah yang harusnya menjadi pedoman dalam menilai sesuatu. Kaum Liberal harusnya membuka wawasannya, bahwa Islam juga hadir di tanah Arab untuk mengubah sejumlah tradisi jahiliyah. Misalnya, tradisi perkawinan jahiliyah, tradisi penindasan wanita, tradisi telanjang, tradisi mabuk-mabukan, dan sebagainya. Meskipun diturunkan di negeri yang tandus, syariat Islam justru mengandung banyak ajaran yang mewajibkan umatnya menggunakan air untuk bersuci. Sebab, Islam memang diturunkan untuk seluruh umat manusia tanpa memandang budaya. Karena itu, tidak ada istilah ”Islam Jawa”, ”Islam Arab”, ”Islam Cina”, dan sebagainya.
Dalam upaya untuk menghadirkan hukum Islam bercorak Indonesia, Nur Kholish Setiawan mengajak untuk mengkritisi sejumlah metode istinbath hukum dalam konsep ushul fikih klasik. Misalnya, konsep ijma’. Katanya, ”Ketetapan hukum yang dilahirkan melalui proses istintabh tidak mungkin memiliki corak keindonesiaan, apabila tidak dibarengi dengan rumusan kritis metodologisnya.”
Di sejumlah IAIN/UIN, metode penafsiran Al-Quran “berbasis budaya” ini tampaknya mulai digencarkan. Misalnya, dalam soal mahar dalam perkawinan. Seorang dosen Fakultas Syariah IAIN Semarang, Rokhmadi, M.Ag., ditanya tentang kasus perkawinan seorang laki-laki dengan wanita Minang, yang menurut si penanya, maharnya justru diberikan oleh pihak wanita, bukan pihak laki-laki. Inilah jawabab dosen itu:
“Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak perempuan karena posisinya di atas laki-laki dalam bersikap dan martabat keluarga. Maka saudara MH Tidak perlu risau, susah, dan gelisah. Justru saudara beruntung tidak dibebani Mahar. Terimalah, sebab ketentuan al-Quran (al-Nisa ayat 4) tidak bersifat mutlak karena semata-mata dipengaruhi budaya di mana Islam diturunkan. (Lihat, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang, Edisi 28 Th.XIII/2005).
Kita bisa bayangkan, apa yang terjadi dengan Islam, jika setiap suku bangsa di Indonesia membuat Tafsir Al-Quran model dosen syariat seperti ini? Nanti ada tafsir berbasis budaya Jawa, Tafsir Betawi, Tafsir Sunda, Tafsir Minang, Tafsir Batak, dan sebagainya.
Dalam soal hukum pidana ala Indonesia, misalnya, Nur Kholish mengajukan proposal dari Mohammad Syahrur tentang ”Teori Batas”. Dalam kasus pencurian, ketentuan hukum potong tangan dalam QS 5:38, dipandang sebagai ”batas maksimal” (al-had al-a’la). Menurut Syahrur, hukum potong tangan bagi pencuri adalah ”hukuman maksimal”. Jadi, tidak setiap pencurian harus dikenai hukum potong tangan. Dan menurut Nur Kholish, masih ada ruang untuk berijtihad menentukan jenis hukuman bagi pencuri yang di bawah hukum potong tangan.
Teori batas lain dari Syahrur yang diajukan Nur Kholish adalah batas dalam soal waris. Pola 2:1 bagi laki-laki dan wanita, menurut Syahrur, adalah formula batas atas dan batas bawah. Jadi, menurut formula itu, batas atas bagi laki-laki adalah 66,6 persen dan batas bawah bagi wanita adalah 33,33 persen. Jadi, bisa dilakukan ijtihad baru, seorang laki-laki mendapatkan warisan 60 persen dan seorang wanita mendapatkan 40 persen. Aspek lokalitas turut memberikan warna dalam pergeseran 66,6 banding 33,3 persen.
Itulah yang dikatakan sebagai tawaran ijtihad atau tafsir baru yang lebih menghargai unsur lokalitas atau budaya lokal. Pendapat Syahrur soal ”Teori Batas” itu sudah sangat banyak menuai kritik di negerinya sendiri, Suria. Teori ini memang ”aneh”. Coba bayangkan, bolehkah seorang berijtihad, bahwa yang termasuk hukuman yang berada di bawah derajat hukum ”potong tangan” adalah, misalnya, ”potong rambut” atau ”potong jari” atau ”potong telinga?”
Kekacauan Teori Batas ini bisa dilihat dalam kasus pakaian laki-laki. Syahrur berpendapat bahwa batas bawah (batas minimal) aurat laki-laki yang harus ditutup hanyalah kemaluannya. ”Karena keadaan cuaca berbeda-beda pada tiap penduduk bumi dari panas yang terik sampai dingin yang menggigit. Maka batas minimal pakaian yang diberikan bagi laki-laki adalah menutup kemaluan.” Karena itu, kata Syahrur, laki-laki boleh berenang hanya dengan mengenakan celana renang saja. Yang dilarang adalah melihat laki-laki dalam keadaan telanjang bulat. (Lihat, Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-sturan Pokok, (Terj.) (Yogya: Jendela, 2002), hal. 71.
Kita bisa bayangkan, bagaimana jika dosen tafsir di UIN Yogya menerapkan teori Syahrur dalam soal pakaian laki-laki ini?
Pada 6 September 2004, situs JIL pernah menurunkan sebuah artikel yang membahas tentang Teori Batas Syahrur, ditulis oleh seorang dosen di Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ditulis di situ, bahwa dalam soal pakaian wanita (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah.
Kita bisa melihat, betapa absurdnya teori semacam ini. Dengan ”Teori Batas” ala Syahrur ini, maka boleh saja wanita mengenakan bikini di depan umum, yang penting dia sudah menutupi batas minimal, yakni kemaluan, payudara, dan tidak telanjang bulat.
Dengan model penafsiran yang sangat ”fleksibel” seperti itu, kita paham, mengapa sebagian kalangan sangat menyukai metode tafsir al-Quran yang disebut ”Teori Batas” ala Syahrur ini. Meskipun model tafsir al-Quran semacam ini yang ditawarkan dalam acara Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Unmuh Malang, kita berharap, Majelis Tarjih Muhammadiyah, tidak tergoda untuk memungutnya.
Kita tidak bosan-bosannya mengimbau para intelektual, meskipun sudah bergelar doktor atau profesor, untuk bersikap tawadhu’ dan tahu diri. Jika maqamnya memang ”muqallid” jadilah ”muqallid” yang baik. Tidak patut memposisikan diri sebagai mujtahid, yang dengan gagahnya memaki-maki Imam Syafii, tetapi ujung-ujungnya menjadi pemuja Nasr Hamid Abu Zaid. [Depok, 22 Februari 2008/www.hidayatullah.com]
Filsafat Nggombal...
Jika kamu memancing ikan....
Setelah ikan itu terlekat di mata kail,
hendaklah kamu mengambil ikan itu....
Janganlah sesekali kamu melepaskannya
kembali ke dalam air begitu saja....
Karena ia akan sakit oleh karena
ketajaman mata kailmu
Dan mungkin ia akan menderita selagi ia
masih hidup...
Begitulah juga setelah kamu memberi
banyak
pengharapan kepada seseorang...
Setelah ia mulai menyayangimu,
hendaklah kamu menjaga hatinya....
Janganlah sesekali kamu meninggalkannya
begitu
saja....
Karena dia akan terluka oleh kenangan
bersamamu
Dan mungkin tidak akan dapat melupakan
segalanya
selagi dia mengingatmu. ...
Jika kamu menadah air, biarlah mendapat
sedapatnya, jangan terlalu mengharap
pada
kedalaman lengkungannya dan janganlah
menganggap
wadah itu begitu kokoh....
cukuplah menadah sesuai
kebutuhanmu. ...
Apabila wadah itu sekali retak....
tentu sukar bagi kamu untuk menambalnya
kembali
menjadi seperti semula....
Akhirnya kamu akan membuangnya. ...
Sedangkan jika kamu mencoba
memperbaikinya. ..
mungkin kamu masih dapat
mempergunakannya lagi....
Begitu juga jika kamu memiliki
seseorang,
terimalah seadanya....
Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan
janganlah
kamu menganggapnya begitu istimewa....
Anggaplah dia manusia biasa....
Bila tidak, apabila sekali dia
melakukan
kesilapan, tidak mudah bagi kamu untuk
menerimanya. ...
akhirnya kamu akan kecewa dan
meninggalkannya...
Sedangkan jika kamu memaafkannya,
boleh jadi
hubungan kamu akan terus hingga ke
akhir
hayat....
Jika kamu telah memiliki sepiring
nasi...
punyamu pastilah yang terbaik untuk
dirimu.
Mengenyangkan dan berkhasiat...
Mengapa kamu lengah, mencoba mencari
makanan yang
lain..
Terlalu ingin mengejar kelezatan...
Kelak, nasi itu akan basi dan kamu
tidak
boleh
memakannya.
Dan kamu akan menyesal...
Begitu juga jika kamu telah bertemu
dengan seorang
kekasih.....
kekasihmu itu pasti membawa kebaikan
kepada dirimu...
Menyayangimu dan mengasihimu. ..
Mengapa kamu berlengah, mencoba
membandingkannya dengan yang lain...
Terlalu mengejar kesempurnaan..
Kelak, kamu akan kehilangannya apabila
dia menjadi
milik orang lain
Dan kamu juga yang akan menyesal...
Setelah ikan itu terlekat di mata kail,
hendaklah kamu mengambil ikan itu....
Janganlah sesekali kamu melepaskannya
kembali ke dalam air begitu saja....
Karena ia akan sakit oleh karena
ketajaman mata kailmu
Dan mungkin ia akan menderita selagi ia
masih hidup...
Begitulah juga setelah kamu memberi
banyak
pengharapan kepada seseorang...
Setelah ia mulai menyayangimu,
hendaklah kamu menjaga hatinya....
Janganlah sesekali kamu meninggalkannya
begitu
saja....
Karena dia akan terluka oleh kenangan
bersamamu
Dan mungkin tidak akan dapat melupakan
segalanya
selagi dia mengingatmu. ...
Jika kamu menadah air, biarlah mendapat
sedapatnya, jangan terlalu mengharap
pada
kedalaman lengkungannya dan janganlah
menganggap
wadah itu begitu kokoh....
cukuplah menadah sesuai
kebutuhanmu. ...
Apabila wadah itu sekali retak....
tentu sukar bagi kamu untuk menambalnya
kembali
menjadi seperti semula....
Akhirnya kamu akan membuangnya. ...
Sedangkan jika kamu mencoba
memperbaikinya. ..
mungkin kamu masih dapat
mempergunakannya lagi....
Begitu juga jika kamu memiliki
seseorang,
terimalah seadanya....
Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan
janganlah
kamu menganggapnya begitu istimewa....
Anggaplah dia manusia biasa....
Bila tidak, apabila sekali dia
melakukan
kesilapan, tidak mudah bagi kamu untuk
menerimanya. ...
akhirnya kamu akan kecewa dan
meninggalkannya...
Sedangkan jika kamu memaafkannya,
boleh jadi
hubungan kamu akan terus hingga ke
akhir
hayat....
Jika kamu telah memiliki sepiring
nasi...
punyamu pastilah yang terbaik untuk
dirimu.
Mengenyangkan dan berkhasiat...
Mengapa kamu lengah, mencoba mencari
makanan yang
lain..
Terlalu ingin mengejar kelezatan...
Kelak, nasi itu akan basi dan kamu
tidak
boleh
memakannya.
Dan kamu akan menyesal...
Begitu juga jika kamu telah bertemu
dengan seorang
kekasih.....
kekasihmu itu pasti membawa kebaikan
kepada dirimu...
Menyayangimu dan mengasihimu. ..
Mengapa kamu berlengah, mencoba
membandingkannya dengan yang lain...
Terlalu mengejar kesempurnaan..
Kelak, kamu akan kehilangannya apabila
dia menjadi
milik orang lain
Dan kamu juga yang akan menyesal...
I'll take you home
Santun
Nyanyikan harap dalam hampa ini
Coba obati luka dengan garam kehidupan yang keras
Mencoba berjalan di padang rumput tanpa
membuat rumput itu bergoyang
Seperti halnya coba lalui hari
tanpa membawa kesannya ke dalam mimpi
Ingin aku sesekali mencoba reguk nikmatnya
berharap pada cinta
Tapi aku takut cinta akan mendefrag semua ingatan
ya Ingatanku akan batasannya
Aku sudah terlalu jauh
Jauh tenggelam dalam lingkaran kesepian
Kini aku harus menyelam lebih jauh
Karena di dalamnya mungkin bisa kutemukan kebahagiaan
Ya, kebahagiaan untuk bisa hidup di dunia ini
Sebelum aku kembali
Dan sebelum terbisikkan di telingaku
"I'll take you home"
Nyanyikan harap dalam hampa ini
Coba obati luka dengan garam kehidupan yang keras
Mencoba berjalan di padang rumput tanpa
membuat rumput itu bergoyang
Seperti halnya coba lalui hari
tanpa membawa kesannya ke dalam mimpi
Ingin aku sesekali mencoba reguk nikmatnya
berharap pada cinta
Tapi aku takut cinta akan mendefrag semua ingatan
ya Ingatanku akan batasannya
Aku sudah terlalu jauh
Jauh tenggelam dalam lingkaran kesepian
Kini aku harus menyelam lebih jauh
Karena di dalamnya mungkin bisa kutemukan kebahagiaan
Ya, kebahagiaan untuk bisa hidup di dunia ini
Sebelum aku kembali
Dan sebelum terbisikkan di telingaku
"I'll take you home"
7 Mar 2008
Wajah Baru
Aku masih disini dan belajar untuk selalu setia
Aku tetap berada disini tanpa mencoba untuk beranjak
Aku masih betah disini bersama kalian
Kalian yang selalu tebarkan keceriaan bersama hari
Kapan aku bisa menikmati hari bersama kalian
Seperti saat lalu disaat kita berlalu dan pergi
Bersama angin
Ya angin kencang itu
Kini, diriku mencoba memberi
Karena selama ini aku selalu cenderung menerima
Dan dengan ini aku berharap
Aku akan mendapatkan apa yang aku beri
Harap mungkin harap
Tapi, aku takkan pernah berharap banyak
Karena hidupku tak sepanjang hidupmu
Ini lah wajahku yang baru
Aku tetap berada disini tanpa mencoba untuk beranjak
Aku masih betah disini bersama kalian
Kalian yang selalu tebarkan keceriaan bersama hari
Kapan aku bisa menikmati hari bersama kalian
Seperti saat lalu disaat kita berlalu dan pergi
Bersama angin
Ya angin kencang itu
Kini, diriku mencoba memberi
Karena selama ini aku selalu cenderung menerima
Dan dengan ini aku berharap
Aku akan mendapatkan apa yang aku beri
Harap mungkin harap
Tapi, aku takkan pernah berharap banyak
Karena hidupku tak sepanjang hidupmu
Ini lah wajahku yang baru
Subscribe to:
Posts (Atom)