Saya mencoba kalem-kalem saja ketika sadar bahwa seharian ini saya tidak beranjak kemana-mana. Entah malas atau apa saya biasa menyebutnya, yang jelas saya merasa duduk dan diam di rumah lebih nyaman ketimbang keluyuran di luar. Ada sekat yang tak terlihat di antara lubang pintu.
Ketimbang saya menggerutu tak jelas, saya berusaha mengalihkan dengan membaca buku (memang seharusnya begitu). Tapi otak ini menolak mentah-mentah apa yang sudah saya baca. Tulisan-tulisan itu hanya sampai retina, belum masuk ke hati apalagi otak. Sudahlah, sambil menggerutu tak jelas saya menuju dapur.
Sayup-sayup saya mendengar lagu sendu dari sebuah grup band lokal. Mengiang-ngiang beradu bersama suara isi penggorengan yang sedang saya garap. Isinya kurang lebih begini:
sungguh aku tak bisa, sampai kapanpun tak bisa
membenci dirimu, sesungguhnya aku tak mampu
sulit untuk ku bisa, sangat sulit ku tak bisa
memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa
Manusiawi memang. Kalau mendengar musik, tak alang entah itu dengkul atau tumit pasti terpancing untuk bergerak. Mengikuti lantunan nada mendayu, bergerak dinamis kesana kemari. Kalau tak ingat sedang berada di dapur, bisa saja saya jadikan sutil penggoreng pengganti microphone. Heheh
Masakan jadi. Penuh protein dan karbohidrat. Juga cacapan asam kamal yang bahan intinya saya bawa dari Indonesia baru-baru ini. Melenggang menuju ruang makan, hati girang. Makanan segera terhidang. Teman-teman datang, melihat menu terhidang mata mereka terang.
Resepsi makan-makan pun berjalan dengan obrolan santai. Sementara itu suasana masih tenang. Tapi beberapa menit kemudian pecahlah obrolan menjadi sebuah perdebatan. Naluri saya bertanya, ada apa gerangan?
Perseteruan terjadi antara kedua teman saya, sebut saja A dan B. Mereka saling mengukuhkan bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Si A menuding si B mempertahankan kebatilan, sebaliknya B tak mau kalah. Apa pula masalahnya?
Ternyata mereka berbeda pendapat tentang penggunaan huruf "K" pada akhir kata. Hal ini bermula dari lagu yang sempat mengalun tadi. Bak lomba Kelompencapir yang terkenal di TVRI dulu mereka berdebat. Meja makan berubah menjadi meja presentasi. Si A berkeyakinan bahwa semua kata berakhiran "K" harus dibaca "K" secara jelas. Contohnya, kata kotak dibaca kota(k), tidak dibaca tida(k). Dan lagu tadi akhirnya harus dinyanyikan dengan jelas seperti:
sungguh aku ta(k) bisa, sampai kapanpun ta(k) bisa
membenci dirimu, sesungguhnya aku ta(k) mampu
sulit untu(k) ku bisa, sangat sulit ku ta(k) bisa
memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa
Sedangkan B berpendapat sebaliknya. Tidak semua huruf "K" pada akhir kata dibaca jelas, ada beberapa pengecualian di sana. Contohnya, tidak menjadi tida', capek menjadi cape', dan lain sebagainya. Walhasil, lagu itu pun menjadi berbunyi:
sungguh aku ta' bisa, sampai kapanpun ta' bisa
membenci dirimu, sesungguhnya aku ta' mampu
sulit untu' ku bisa, sangat sulit ku ta' bisa
memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa
Akhirnya keduanya berhenti sebentar untuk mengambil nafas setelah gencar beradu argumen. Lucu saja, saya membayangkan kalau semua kata dibaca jelas, maka enggak harus menjadi engga(k). Atau tidak dibaca semuanya dengan jelas, maka handuk menjadi handu'? Hahaha
Tawa saya terhenti ketika mata keduanya melirik tepat ke arah saya, tatapan mereka masuk menghunjam ulu hati. Isi pesan tatapan itu adalah : Tolong dukung saya! Kuatkan pendapat saya. Oalah, meminta dukungan ternyata.
Akhirnya saya putuskan untuk tidak mendukung siapa-siapa. Kedua-duanya benar, dan tujuan keduanya memang mulia. Yaitu mempertahankan bahasa Indonesia yang baku, baik dan benar. Saya hanya tidak mau perbedaan tentang hal-hal seperti ini malah menambah jumlah perbedaan yang sudah tidak terhitung di atas muka bumi ini. Perbedaan memang rahmat, tapi membedakan diri itu kholif tu'rofnamanya.
Lebih baik menikmati hidangan yang berbeda di atas meja. Ada ikan kering sepat di sana, ada juga ikan kering gabus. Plus cacapan asam khas Kalimantan. Amboi…