Waktu itu selepas saya naik ke kelas empat SD bertepatan dengan rencana renovasi rumah, saya sedang aktif-aktifnya di sekolah. Anda tentu tahu sendiri bagaimana anak-anak di sekolahnya, tentunya jajan tidak teratur. Begitupula saya. Ada satu minuman favorit saya sewaktu di sekolah dulu, minuman bersoda buatan pabrik rumahan. Dan minuman itu pula lah yang membuat saya akhirnya sakit. Pikiran orangtua saya terbagi, antara rumah yang direnovasi dan anak yang harus direnovasi juga kesehatannya alias sakit.
Penyakit saya terbilang cukup aneh, sampai sekarang saya sendiri masih tidak tahu apa nama penyakit saya dulu. Syukurnya, penyakit itu adalah penyakit terakhir yang mengharuskan saya opname di rumah sakit. Karena setelahnya, saya hanya "berkunjung" ke rumah sakit untuk periksa kesehatan.
Nah, sampai di sini anda pasti bertanya-tanya apa hubungannya tulisan ini dengan judul di atas?
Begini, sewaktu saya sedang drop-dropnya di rumah sakit. Abah dan mama saya kadang bergantian menemani saya. Biasanya abah dapat giliran pagi, dan mama dapat giliran malam. Pada suatu hari, abah saya datang membawakan sebuah organ mini murahan. Sebagai oleh-oleh hiburan di kala saya sakit. Hati saya girang. Walau badan lemah, tapi semangat saya kembali berkobar melihat organ mini tersebut. Abah tahu, kalau saya suka musik. Begitupula beliau.
Beliau dulu pernah bercerita, sewaktu beliau masih di kampung dan mondok di pesantren. Beliau sering kabur untuk menonton orkes melayu keliling. Orkes yang digawangi seorang juragan berkumis tipis, berbaju rapi dengan rambut yang licin selicin lantai dilumuri oli. Beberapa orang musikus dengan alat masing-masing. Ada akordion, organ, gitar, bass dan ketipung. Juga tiga orang biduan biduanita. Seorang biduan berpakaian safari, bersepatu pantopel coklat mengkilap, rambut bak Elvis Presley dengan jambul menggelambung di ujung kepala juga kumis tak kalah rapi dari juragan. Dua biduanita berpakaian melayu panjang dan sopan, serta dandanan seadanya. Jauh dari kata norak.
Entah bagaimana detailnya, abah saya yang katanya bagus mengaji tiba-tiba terpilih sebagai penyanyi lagu orkes keliling. Mungkin tim pencarian bakat waktu itu tidak secanggih sekarang, mereka melakukan scouting secara manual. Akhirnya abah dikontrak. :D
Di orkes melayu tersebut abah diplot menyanyikan lagu-lagu melayu zaman dahulu. Berbagai macam lagu beliau nyanyikan, terlebih beliau sangat mengidolakan Puteh Ramlee sebagai seorang biduan melayu yang terkenal zaman itu.
"Suaranya, nak... Macam gumpalan sutra terhembus angin. Tebal mengalun, tapi merdu", abah bercerita.
Banyak lagu P. Ramlee yang ayah nyanyikan, mulai dari Anakku Sazali, Azizah, Bulan Mengambang, sampai Engkau Laksana Bulan. Beliau hafal betul tiap-tiap not-nya. Walaupun beliau akhirnya secara dramatis harus memilih kembali sekolah di pesantren ketimbang meneruskan "karir" di dunia tarik suara.
Walhasil, saya begitu terhibur di rumah sakit. Punya motivasi untuk sembuh dan pulang ke rumah sambil memeluk organ mini yang jadi kesayangan saya. Saya baru sadar, ternyata walau penampilan abah yang perlente dan modis, beliau juga menyukai lagu-lagu lama. Bersahaja sekali beliau tatkala mengajarkan saya beberapa lagu yang sekarang masih saya hafal nadanya.
Sekarang, abah tak lagi muda. Umur beliau sudah 73 tahun. Rentan sakit-sakitan, dengan beberapa penyakit yang beliau idap di masa tua-nya. Penyakit hidup enak kata orang.
Tiap kali saya rindu abah saya, selalu saja saya putarkan beberapa lagu tersebut. Niatnya mengobati kerinduan pada abah. Semoga abah tetap diberikan kesehatan dan rezeki yang banyak. Tunggu anakmu pulang, bah. Bawa istri. :D Hehehe...
Kalau ada yang mau mendengarkan lagu P. Ramlee, silakan buffer di sini.
No comments:
Post a Comment