20 Apr 2009
Breakeven.
Kini, tujuh hari tujuh malam tiada seorang pun yang datang menghampiri tugu itu, hanya rintik yang setia tetes demi tetes membasahi, menyapu lumut hijau yang perlahan menggerogoti.
Lelaki tegap itu, masih berdiri. Berdiri mematung mengalirkan pikirannya bersama genangan. Melepaskan selayang pandangannya menembus hijau dedaunan hutan. Melipat detik demi detik.
Panah hujan kembali datang, berwajah sunyi bagai bercadar selubung hati, menenteng mangkuk dan pinggan di tangan, minuman dan santapan penawar lapar dan rasa kesepian. Setelah meletakkan semua itu di samping tugu. Ia beranjak, menyisakan jejak-jejak pertanyaan. Dan balon-balon penasaran. Meninggalkan payung hitam berguling-guling untuk seterusnya terlentang menadah hujan.
Lelaki hujan pun kembali, menghampiri pepohonan poplar perak dalam gerbang putih rumah itu. Lalu berdiri tegap bersandar pada ranting perkasa pohon itu. Pandangannya menerawang, jauh membungkus ujung jalan dan tugu di mana dia berdiri. Dan tak lama kemudian, nampak sesosok Panah hujan berjalan tergesa.
Lelaki hujan menyongsongnya, bersama-sama keduanya berjalan ke arah perjamuan di padang lapang. Hijau meminjam sedikit kilau coklat keemasan. Dipayungi awan hitam, dan rintik gerimis yang membenci datangnya hujan.
Duduklah mereka dan makan bersama, mengitari hidangan yang amat sederhana, setelah Panah Hujan meletakkan roti dan sekedar ikan di meja, dan membagikan sisa anggur pada cawan putih bening. Selagi menuangkan minuman, ia berkata kepada Lelaki hujan,” Kakanda, izinkanlah daku pergi ke kota, membeli anggur penawar dahaga, karena guci ini telah kehabisan isi.”
Ditatapnya Panah hujan, terawang matanya membayangkan perjalanan jauh, dan negeri perantauan, dan ucapnya, “Sudahlah, jangan, sebab anggur itu akan menambah rinduku.”
Dengan nanar matanya ia berkata,” Saudariku, hari ini lonceng perpisahan telah menggema. Sudah lama nian, hamparan samudera kesabaran akan penantian ini aku arungi. Sudah pulalah rindu dan pengharapan ini aku korbankan untuknya gadis putih. Tapi, langit masih enggan memayungi kami. Awan masih iri bila rembulan bersanding dengan matahari.
Namun, sebelum aku menapaki perpisahan ini, pergilah kau saudariku, berjalanlah sambil menyanyi, namun nyanyian yang tidak panjang, sebab hanya tembang yang cepat singgah-terbang, bakal hidup panjang di hati sanubari insan.
“Tuturkan mutiara kebenaran dalam kesederhanaan kata-kata, tapi hindari kebenaran palsu dalam perkataan apapun jua. Katakan pada cinta yang rambutnya berkilau ditingkah surya, dialah sebenarnya putri sang Fajar. Tapi bila kau jumpai dia yang buta dalam asmara, jangan katakan, sebenarnya ia menyatu dengan malam kelam.
“Dengarkan lagu peniup seruling, seolah mendengarkan kidung bulan musim semi, tapi bila kau dengar suara si pengecam dan si pencari kesalahan, tutuplah telingamu hingga setuli tulang-belulang, dan lemparkanlah sejauh larinya khayalan yang terbang.
“Saudariku, pupuskanlah kerinduan. Karena aku tidak mengukur kerinduan dengan galah gemerlapan, tak pula kuduga-duga kedalamannya, sebab cinta kasih, pabila menanggung rindu, melebar dugaan ruang dan ukuran waktu.
“Cintailah cintamu, karena bilang sang Cinta berbicara, segenap angin menjadi kata-kata, dan bila dia berbicara lagi, senyuman di bibirmu, tetesan airmatamu, juga menjelma menjadi kata-kata. Penuh makna. Jika dia berdendang, si tuli mendengar dan terpana, dan bila menghampiri, si buta melihat dan ternganga, penuh ketakjuban.”
Panah hujan tergugu. Haru menyeliputi hatinya. Bersama lirih ia berkata,” Kenapa Kakanda memilih perpisahan ini?”
Dengan senyum tersungging, Lelaki hujan berkata lantang.
“Benarkah aku memisahkan diri darimu? Tidakkan kau ketahui, jarak itu tidak nyata, kecuali yang direntang oleh khayalan rasa? Dan bila pun jarak direntang oleh rasa, dia menjelma jadi irama dalam jiwa.”
Lemah, dan sangat sedih menimpa Panah Hujan. Ia tak kuasa melepas saudaranya kembali kepada kabut. Untuk terbang kembali ke awan. Dan menjadi Hujan.
Malam pun turun. Ia telah tiba di samping tugu. Langkahnya menapaki kabut, berdiri dia antara karang dan batang-batang sipres putih, tersembunyi dari segala pandangan, ia pun menyeru alam:
“Wahai kabut, saudaraku, nafas putih yang belum berwujud, Aku pulang kepadamu, wahai nafas putih tanpa suara, sepatah kata yang belum terungkap.
Wahai kabut, saudaraku yang bersayap, kini kita bertemu, bersamamu hingga kehidupan yang kedua, Fajar daku menjelma bayi, dalam dekapan seorang perempuan hujan.
Wahai kabut, saudaraku, tangan ini masih menggenggam benih cinta untuk disebarkan, dan di bibirku terjalin lagu asmara pesananmu agar kunyanyikan padanya, Namun kembaliku tanpa buah, tanpa membawa kumandang lagu, karena tangan ini buta, dan bibir kelu.
Wahai kabut, saudaraku, betapa cintaku kepada gadis putih dan dia pun mengasihiku,
Sebab segenap senyumku tersungging pula pada bibirnya, dan seluruh airmatanya menggenangi pula simpul mataku. Namun diantara kamu menganga kebisuan yang tiada terjembatani, aku pun tak kuasa melangkahi.
Wahai kabut, saudaraku kabut.
Denganmu kini aku menyatu,
Telah lenyap dari pribadiku,
Batas tepian telah tumbang,
Rantai ikatan pun telah hilang,
Aku pulang.
Dan biarkan terang. Hapuskanlah hujan.”
Plagiat dari buku Taman Sang Nabi; Kahlil Gibran. Penerbit Pustaka Jaya tahun 1988.
gambar dari http://soulidaritas.files.wordpress.com/2007/12/kabut.jpg
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
setiap kali membacanya.
mata saia gak pernah kering. :D
mungkin karena Om Kahlil ya.
.
boleh untuk saia?
:D
*this for me, uh?
.
makasih dah nyempetin nulis dan bagus bangetbanget ;)
bagaimana saya bisa pergi,
jika kamu tak datang lagi?
sampai kapan menunggu,
terkatung di ujung waktu?
sudah mencoba pergi,
mungkin Tuhan belum merestui.
apa kamu sungguh tak ingin bertemu lagi,
jadi saya harus benar-benar pergi?
(pengasingan, menulis sembunyi)
suka fotonya :)
Post a Comment