Pages

13 Nov 2008

Perempuan Kedua

Dua, ternyata tak selamanya bisa menggenapi*.
Dua, ternyata tak selamanya bisa menutupi.
Dan dua, ternyata bukan hanya dari satu. (1)

Aku, Reisha. Lahir 21 tahun yang lalu. Di kala ibuku merejang sendirian. Dalam sebuah kesunyian malam. Hanya dihentikan oleh letupan tangisanku. Merah.

Kenyataan harus menyadarkanku bahwa aku dibesarkan oleh seorang ibu tanpa ayah. Aku tak ingin menangisinya walau bulir air mata menetes pelan menyapu pipi semuku. Dan aku tak pernah sekalipun bertanya. Sampai aku berfikir, aku hanya buah tangan dari surga kepada ibuku. Seperti Isa. Tak ada perasaan kecewa, karena aku bahagia masih mempunyai seorang ibu yang sabar membesarkanku. Sendirian, tanpa ayah yang katanya mencari usaha di sebrang sana. Hingga aku remaja. Hijau.

Alhamdulillah ! Segala puji bagi-Nya. Aku kini bekerja, menghidupi diri dan ibuku yang kian renta. Jari jemari beliau kini berpetakan keriput. Terkadang, kucubit tangan beliau saat bercanda. Kulit lemah itu berkumpul, lambat merekah. Tak sesegar dulu. Duhai ibu... Coklat.

Dia kaya, tampan dan gagah. Aku belum pernah merasakan suka, entahlah aku menyebutnya. Yang jelas, aku merasa betah bersamanya. Aku merasakan ketergantungan dengannya. Aku melupakan dunia dan isinya. Pandangan matanya membuatku kadang tergila-gila. Jujur aku ungkapkan. Aku suka dengannya. Dan dalam mimpiku, dialah malaikat yang dituturkan untuk hidup mengukir masa bersamaku. Oranye.

Tapi, kini. Abu-abu datang. Dia yang kuanggap sang Pangeran gagah ternyata membuatku bisu. Dia yang pernah membawaku hidup bersama mimpi beriringan menuju cakrawala. Melupakan semua dunia dan pasirnya. Melupakan bahwa kami tak hanya hidup berdua. Ternyata hanya seorang lelaki lemah rentan birahi. Oh, ibu... aku tak ingin menjadi abu-abu. Kembalikan biruku...

Aku tergugu dalam tangisan panjang. Sebuah penyesalan telah mengikuti nafsu. Dan kini malaikat itu meninggalkanku. Aku ingin membiru. Tapi yang kudapati hanya hitam. Tanpa cahaya. Hitam bersama pekat daging kecil dalam rahimku. Tanpa restu. Hitam.

Ya Allah, aku lama meninggalkanmu dalam jenakku. Aku lupa bahwa Engkau akan selalu berada di sisiku. Aku mohon, hapuslah hitamku. Putihkan aku.

Orang itu. Ya, Ridwan aku menyebutnya. Lelaki setia. Pertemuanku dengannya diawali dengan tundukkan kepala. Tatapan mata sopannya membuatku terpana. Wajah tanpa kerut, sedikit janggut hitam di dagunya. Dan bercak jernih terpancar di hatinya. Aku hampir lupa. Dialah yang menemukanku dalam durjana. Dialah yang menarikku dari sumur tua seperti Yusuf yang dibuang saudara-saudaranya. Dialah lelaki yang harus kutemani hidupnya. Tapi, aku bukanlah yang pertama di hatinya. Akulah perempuan kedua. Perempuan merah muda.

Kak Rafifa. Aku menyebutnya. Sang perdana. Sang sabar. Selalu tersenyum berbingkai jilbabnya. Tapi aku percaya ia menangis dalam hatinya. Allah, kuatkan jiwanya.
Aku berkata padanya.
"Ka, mengapa kau menerimaku sebagai nila dalam kehidupan kalian?"

"Engkaulah berkah, bersamamulah kehidupannya. Dan aku mencintainya seperti kau menyukainya. Aku rela berbagi hidupnya bersamamu. Karena aku sangat mencintainya. Apapun yang membuatnya bahagia, akulah ma'mumnya."

"Duhai kakak, betapa teganya dirimu membohongi hatimu ? Bukankah cinta itu tak bisa kau bagi menjadi dua ?" aku hampir tercekat dalam tanyaku.

"Dik Reisha, cintaku sesungguhnya hanya satu. Hanya kepada-Nya. Dan hidupku bersamanya adalah mensyukuri apa yang telah diberikan-Nya padaku dengannya. Dan aku menghormati caramu mencintainya."

Aku tak percaya, aku ingin lebih tahu. Apakah aku diterima sebagai perempuan kedua.

"Ka Ridwan, mengapa kau mengecewakan dia ? Mengapa kau menduakan cintanya?"

"Aku tak menduakan cinta siapapun. Dan aku takkan mengecewakan siapapun. Yang ada adalah, aku mencintai kau dan dirinya. Dan aku akan berusaha sebaik-baiknya menghidupimu juga dirinya. Sebaik-baiknya keluarga adalah keluarga yang saling percaya."

"Mengapa kau jadikan aku yang kedua?"

"Kau bukanlah yang kedua, tak pula yang pertama. Karena cinta sejati takkan pernah bisa terhitung dengan angka."

Aku lelah, dan pasrah. Hanya ingin diri ini. Hidup dan bahagia bersama mereka. Secerah pagi ini. Di saat kami berkumpul bersama, tergelak dalam canda tawa bahagia. Biarkan mentari iri karena kesendiriannya. Biarkan kami menikmati cahayanya. Kuning.

*dari melia ajani. rainbow.

2 comments:

tyara said...

kakak...
mana ih?

lagi cari dalil dan hadis nya yah? :D

ehehe, saia sih tetep gamau dipoligami.
biarpun dijamin surga :D
hahaha.

tapi, sah2 aja buat yg mau sih..
:p

tyara said...

*ih, ngutip2 kata2 orang :p*

ngutip dr mel,
ngutip dr saia jg ah..
(bagian hitam-putih-malaikat :P)

saia jd inget lagunya :
Dewa-Kucinta Kau dan Dia
Astrid-Jadikan Aku yg Kedua

yah, saia ngerti mksdnya *kyknya*
tapi..ga mengubah apapun ttg pendirian saia..'say no to polygami'. hehe.

selama bukan saia sih boleh, sah2 saja..:D
yg penting bukan saia, gag mauu >__<
*kapooooook diduain :D sakit hati.